Bulan Suci Ramadan
Terungkap Patokan Buka Puasa dengan Mengacu Azan Maghrib adalah Keliru yang Banyak Tidak Disadari
Banyak kalangan, saat giliran mau buka puasa, publik bertanya-tanya, sudah buka belum.
Patokan buka puasa dengan azan Maghrib yang dikumandangkan ternyata itu keliru.
Kajian yang disampaikan Ustadz Subhan Bawazier menjelaskan, banyak kalangan, saat mau buka puasa, mereka bertanya-tanya, sudah buka belum, sambil menunggu saat azan Maghrib.
"Sampai muadzin ditelepon dulu, sudah azan belum, dijawab, ini lagi ngeteh," katanya.
Jadi, kata Ustadz Subhan Bawazier, apa gunanya ada jadwal Imsakiah ditempel di dinding, dekat kulkas, di dapur.
Saat sampai jam 05.55 petang, azan Maghrib belum berkumandang, akhirnya muadzin jadi sasaran.
"Giliran mau buka, bertanya sudah azan belum," katanya.
Ustadz Subhan Bawazier, dalam postingan video yang dipaparkan Kajian Sunnah, menjelaskan, selama ini, sebagian kalangan keliru dalam menjalankan ibadah buka puasa.
Perhatikan saja, banyak yang menunggu saat azan Maghrib di televisi atau menunggu azan di masjid padahal sudah ada jadwal puasa, sebulan penuh.
Padahal, seharusnya jadwal imsakiah atau jadwal puasa Ramadan bisa menjadi patokan, bukan azan Maghrib.

Penjelasan yang disampaikan Kajian Sunnah pun merinci, yang menjadi acuan waktu berbuka puasa adalah terbenamnya matahari dan bukan azan Maghrib.
Allah berfirman:
“Makan dan minumlah kalian sampai betul-betul jelas bagi kalian benang putih di atas benang hitam, yaitu terbitnya fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Maksud sampai malam adalah sampai terbenam matahari.
Hal ini ditegaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila malam datang dari arah sini, dan siang menghilang dari arah sini, serta matahari telah tenggelam maka orang yang puasa boleh berbuka.” (HR. Bukhari: 1954 dan Muslim: 1100)
Imam an-Nawawi menerangkan:
"Kaum muslimin bersepakat bahwa puasa dianggap selesai dan sempurna dengan terbenamnya matahari." (Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab 6/304).
Sedangkan Syaikhul Islam menjelaskan tentang acuan terbenamnya matahari:
"Apabila semua bulatan matahari telah tenggelam, orang yang puasa boleh berbuka dan warna merah yang menyala di ufuk barat yang masih tersisa, tidak dihitung." (Majmu’ Fatawa, 25/215).

Namun demikian, Kajian Sunnah menjelaskan, boleh saja berbuka puasa berpedoman kepada azan seorang muadzin karena azan Maghrib dikumandangkan, kemungkinan besar matahari sudah terbenam.
Akan tetapi, jika azan Maghrib tersebut dikumandangkan, ketika matahari belum benar-benar terbenam, maka sebaiknya jangan berbuka puasa terlebih dulu.
Mengingat, kita yang tinggal di tengah kampung atau di tengah kota tidak mungkin melihat langsung tenggelamnya bulatan matahari, maka kita bisa percaya pada jadwal imsakiyah yang diterbitkan pemerintah atau yayasan tertentu.
Insya Allah, itu sudah mewakili.
Sementara itu, Syaikh Utsaimin menerangkan:
"Seandainya matahari telah terbenam dan anda menyaksikannya sedangkan orang-orang belum mengumandangkan adzan maka anda boleh berbuka... lihatlah ke bulatan matahari tersebut, apakah bagian atasnya sudah tenggelam." (Asy-Syarh al-Mumti' ala Zad al-Mustaqni' 6/436)
Karena yang jadi patokan berbuka bukan saat azan Maghrib, melainkan terbenamnya matahari.
• Jawaban Lugas Ustadz Abdul Somad tentang Menangis dan Pacaran Bisa Membatalkan Puasa atau Tidak
• Ustadz Adi Hidayat Ungkap Nasib Orang yang Jadikan Ulama Bahan Tertawaan dengan Menyebut Adisomad
Sementara itu, Ustadz Adi Hidayat dalam kajiannya menjelaskan, dalam menunaikan ibadah puasa, hendaknya beribadah dengan kesungguhan.
Cara berwudlu sebenarnya sama saja di bulan Ramadan dan di luar bulan Ramadan.
Meski demikian, banyak kalangan yang bertanya, bagaimana kalau ada air wudlu sampai masuk tubuh lewat tenggorokan dan hidung, yang terjadi saat wudlu.
Karena itu, solusi yang disampaikan Ustadz Adi Hidayat terkait wudlu bisa menjadi cara untuk mengatasi persoalan ini.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan, orang sebaiknya berhati-hati untuk menelan air wudlu melalui berkumur-kumur dan saat menghirup air ke dalam hidung.
"Sesungguhnya cara wudlu dalam Ramadan tidak ada bedanya dengan di luar Ramadan, terkait yang dipandang makruh, sebaiknya meninggalkannya."
"Sunnah Istinsyaq adalah berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung," kata Ustadz Adi Hidayat dalam sebuah ceramahnya.
Ibadah sunnah saat wudlu selama bulan Ramadan yang bisa ditinggalkan adalah kumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung.
Meski demikian, ibadah itu bisa dilakukan kembali di saat akan menjalankan salat Maghrib setelah berbuka, salat Isya, dan di waktu sebelum salat Subuh tiba.
Demikian halnya dengan kegiatan untuk menggosok gigi sebaiknya dilakukan sebelum waktu salat Subuh tiba, sebelum azan Subuh berkumandang.
Sejumlah kalangan memang memilih untuk berhati-hati dalam kaitan menjalankan ibadah.
Misalnya, dengan meninggalkan berkumur dan menghirup air lewat hidung, soalnya ada larangan untuk orang berpuasa memasukkan makanan atau minuman ke tubuhnya.
Dikhawatirkan, mereka yang berkumur akan sulit untuk membedakan mana air wudlu dan mana air ludah, sehingga dikhawatirkan bisa membatalkan puasa.
Hanya kalangan anak-anak yang tampaknya masih melakukan kumur-kumur di saat melakukan wudlu.
Sementara itu, di kalangan anak-anak populer istilah buka diam-diam dengan singkatan budi.
• Rizal Ramli Ungkap Pemimpin Harus Utamakan Keinginan Rakyat seperti Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur
• Alasan Fadli Zon Menolak Proyek OBOR karena Melemahkan Kedaulatan Republik Indonesia
Salah satu kesempatannya adalah melalui kegiatan berkumur saat wudlu, yang berpotensi memasukkan setetes air ke tenggorokan yang sedang dilanda kehausan.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa di saat Ramadan jangan tinggalkan ibadah.
"Para sahabat saat Ramadan itu gembira dan umumnya akan memersiapkan diri."
"Kalau Anda mendapatkan Ramadan jangan pernah matikan malamnya, 15 menit, 30 menit, salat sunnah nilainya 80 tahun bahkan lebih," katanya.
Dalam kesempatan ceramah, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan, sejumlah hadis populer sebenarnya adalah hadis palsu.
Misalnya, kata Ustadz Adi Hidayat, hadis yang menyatakan, tidur saat puasa adalah ibadah.
"Justru di saat puasa, umat Musli diminta untuk meningkatkan ibadah, kalau tidur bagaimana mungkin meningkatkan ibadah," katanya.
Sejumlah hadis yang populer lainnya dianggap sebagai hadis sahih, tapi menurut Ustadz Adi Hidayat, sebenarnya itu adalah hadis palsu.
"Secara kalimat, memang benar, tapi Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyatakan seperti itu, maka hadis-hadis yang populer itu di kitab hadis-hadis palsu saja tidak saya temukan."
"Demikian pula di kitab hadis sahih seperti Bukhari, Muslim, hadis-hadis populer itu tidak akan ditemukan karena di kitab hadis palsu saja tidak ditemukan," katanya.
Ustadz Adi Hidayat mencontohkan bunyi kalimat kebersihan adalah sebagian dari iman dan makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang adalah dua hal yang dianggap hadis.
Ternyata, kata Ustadz Adi Hidayat, itu adalah bukan hadis.
"Maknanya bagus, tapi itu bukan hadis, apalagi dianggap hadis yang sahih," katanya.
Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa di saat Ramadan jangan tinggalkan ibadah.
"Para sahabat saat Ramadan itu gembira dan umumnya akan memersiapkan diri."
"Kalau Anda mendapatkan Ramadan jangan pernah matikan malamnya, 15 menit, 30 menit, salat sunnah nilainya 80 tahun bahkan lebih," katanya.
Dalam kesempatan ceramah, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan, sejumlah hadis populer sebenarnya adalah hadis palsu.
Misalnya, kata Ustadz Adi Hidayat, hadis yang menyatakan, tidur saat puasa adalah ibadah.
"Justru di saat puasa, umat Musli diminta untuk meningkatkan ibadah, kalau tidur bagaimana mungkin meningkatkan ibadah," katanya.
Sejumlah hadis yang populer lainnya dianggap sebagai hadis sahih, tapi menurut Ustadz Adi Hidayat, sebenarnya itu adalah hadis palsu.
"Secara kalimat, memang benar, tapi Nabi Muhammad SAW tidak pernah menyatakan seperti itu, maka hadis-hadis yang populer itu di kitab hadis-hadis palsu saja tidak saya temukan."
"Demikian pula di kitab hadis sahih seperti Bukhari, Muslim, hadis-hadis populer itu tidak akan ditemukan karena di kitab hadis palsu saja tidak ditemukan," katanya.
Ustadz Adi Hidayat mencontohkan bunyi kalimat kebersihan adalah sebagian dari iman dan makan sebelum lapar berhenti sebelum kenyang adalah dua hal yang dianggap hadis.
Ternyata, kata Ustadz Adi Hidayat, itu adalah bukan hadis.
"Maknanya bagus, tapi itu bukan hadis, apalagi dianggap hadis yang sahih," katanya.