Bulan Suci Ramadan
Iming-iming Hadiah Untuk Anak yang Berpuasa Saat Bulan Suci Ramadan, Ini Alasannya
"Ketika anak melihat suasana sudah begitu menyenangkan saat Ramadan di rumah pasti anak akan ingin terlibat."
Penulis: |
Berpuasa selama hampir 14 jam bukan perkara mudah untuk menjalaninya, termasuk anak-anak.
Banyak orang tua menjanjikan hadiah kepada anaknya agar mau ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan.
Salahkah orang tua memberi hadiah untuk ibadah puasa yang dilakukan anak-anak?
Putri Indonesia 2008 Zivanna Letisha Siregar (30) mengaku sudah berpuasa penuh sejak usia 4 tahun. Kala itu, dia duduk di bangku taman kanak-kanak.
Setiap kali berpuasa dari imsak hingga bedug maghrib, gurunya memberikan stiker.
Tetapi, jika puasanya hanya setelah hari, stiker yang diterimanya itu hanya sepotong. Jika tidak berpuasa sama sekali, dia tidak mendapat stiker.
Iming-iming hadiah stiker itu membuat Zivanna bertekad puasa full hingga maghrib.
• Ada 3 Fase Dalam Bulan Ramadan yang Perlu Anda Ketahui Agar Tidak Sia-Sia Puasanya
"Seingat saya benar-benar karena alasan stiker saya bisa kuat berpuasa di usia 4 tahun," kata Zivanna saat menjadi bintang tamu di acara 'Tepis Mitos Puasa Bersama Halodoc' di Menteng, Selasa (30/4/2019).
"Karena kebetulan stikernya saya suka dan saya ingin mengumpulkan semua stiker sampai 30," katanya lagi.
Psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana mengatakan, sebagai orangtua pasti menerangkan tentang ibadah kepada buah hatinya.
Misalnya, salat lima waktu bagi yang muslim, berpuasa di bulan Ramadan, ke gereja pada hari tertentu bagi umat kristiani, dan bersembahyang di pura bagi umat Hindu.
Anak akan paham sepanjang orang tua menerangkan dan mencontohkan apa yang dilakukan dalam ibadah tersebut.
Setelah anak tahu apa yang harus dilakukannya, lalu bagaimana anak akan melakukannya secara rutin tanpa harus disuruh atau dipaksa?
Anak harus diberikan alasan kuat mengapa harus beribadah. Orang dewasa bisa bertanya pada diri sendiri, mengapa saya beribadah?
• Sinetron Cahaya Terindah Siap Jadi Teman Berpuasa Selama Bulan Ramadan, Begini Kisahnya
Mungkin jawaban seperti ini yang ada dalam pikiran kita: supaya dapat pahala, supaya masuk surga, karena agama mengharuskan, sudah jadi kebutuhan, dan sebagainya.
Tentunya alasan-alasan ini pula yang ingin orang tua tanamkan pada anak agar mereka paham dan sukarela menjalankan ibadah.
Namun masalahnya, tahap pemikiran yang dibutuhkan untuk memahami alasan-alasan seperti itu adalah tahap pemikiran abstrak.
Anak-anak belum sampai pada tahap perkembangan pikiran tentang hal abstrak.
Pakar perkembangan kognitif anak, Piaget, menyatakan, anak baru mulai mampu memahami hal abstrak seperti pahala, surga, dosa dan sejenisnya, pada tahapan masa remaja atau paling tidak 11 tahun ke atas.
"Sebelum itu, anak masih kesulitan untuk memahami hal yang abstrak dan masih sebatas memahami secara logis untuk hal-hal yang konkrit saja," ujar Vera saat menjadi pembicara di Perpustakaan Nasional, Kamis (2/5/2019).
Hal nyata atau konkrit yang bisa dipahami anak misalnya bisa disentuh atau nyata bentuknya bagi anak.
Sulit bagi orang tua menjelaskan kepada anak untuk melakukan ibadah karena akan mendapatk pahala di akhirat nanti. Atau sebaliknya, tidak boleh melakukan sesuatu karena berdosa.
• 8 Aplikasi Ini Cocok untuk Tingkatkan Ibadah di Bulan Ramadan, Unduh Gratis di Google Play Store
Jadi anak perlu dirangsang oleh sesuatu yang konkrit atau nyata agar mereka mau melakukan apa yang kita harapkan, seperti hadiah.
"Jika bicara soal hadiah, kita tidak bisa terlepas dari apa yang disebut motivasi. Motivasi dibagi menjadi dua, motivasi intrinsik atau internal dan motivasi ekstrinsik atau eksternal," katanya.
Motivasi intrinsik adalah keinginan atau dorongan untuk melakukan sesuatu demi kepuasan diri sendiri.
Contoh, seseorang yang ingin kuliah sampai S3 semata karena ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia mampu.
Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah keinginan atau dorongan untuk melakukan sesuatu karena ada hadiah dan konsekuensi, hanya kepuasan batin semata.
Namun beda halnya dengan anak-anak. Anak-anak masih sebatas pemikiran hal-hal yang konkrit saja.
Motivasi intrinsik belum berkembang secara berimbang dengan motivasi ekstrinsiknya.
Pada anak, motivasi yang datang dari luar dirinya masih dominan. Perilaku anak masih bergantung pada hadiah atau konsekuensi ia dapatkan.
• 4 Golongan yang Boleh Tidak Menjalankan Puasa Ramadan, Dengan Syarat Seperti Ini
Namun dalam perjalanan kehidupan anak, kedua motivasi ini dapat berjalan beriringan.
Artinya, motivasi intrinsik bisa dikembangkan. Misalnya, anak yang mendapatkan hadiah karena melakukan ibadah tertentu.
Anak juga bisa mendapat kata-kata pujian, seperti "Wah, kamu pasti bangga sama diri kamu sendiri karena sudah bisa puasa seminggu penuh...hebat deh anak mama!”
Masukan seperti itu akan menumbuhkan rasa bangga, kepercayaan diri dan sikap positif anak terhadap dirinya sendiri sehingga lambat laun akan mengembangkan motivasi intrinsik.
Suasana mendukung
Menurut Vera yang tak kalah penting adalah menghadirkan suasana yang menyenangkan saat Ramadan.
Ramadan itu identik dengan tradisi makan bersama, bersuka cita saat berbuka, banyak makanan yang disukai di meja makan, membantu menyiapkan makanan dan lainnya.
"Ketika anak melihat suasana sudah begitu menyenangkan saat Ramadan di rumah pasti anak akan ingin terlibat. Bahkan tanpa diberi imbalan sekalipun sebenernya," kata psikolog Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia ini.
• Seruan Bagi Pemilik Tempat Hiburan dan Rumah Makan, Wali Kota Depok: Tutup Selama Ramadan!
Menurut Albert Bandura, seorang pakar perkembangan anak ternama, anak belajar perilaku yang diharapkan maupun yang tak diharapkan melalui mengamati dan mendengarkan orang-orang di sekitarnya.
"Anak ibarat seperti busa yang mampu menyerap cairan di sekelilingnya. Jadi tunjukkanlah pada anak perilaku ibadah apa yang diharapkan dari mereka."
"Jadikan ibadah sebagai bagian dari kebiasaan dalam keseharian di rumah seperti membaca doa sebelum makan atau tidur. Orang tua yang melakukan, anak tinggal meniru," ujarnya.
Selain itu, tunjukkan pula rewarding experience setelah beribadah. Misalnya tersenyumlah atau bicara dengan lembut setelah ibadah.
Atau bisa katakan, "Duh tenang deh kalau habis berdoa, bisa tidur nyenyak deh anak mama…”
Anak yang belajar lewat mengamati akan menyerap pula pengalaman menyenangkan setelah ibadah sehingga lambat laun ingin mencapai pengalaman yang sama.
Anak akan mudah paham sesuatu ketika merasa senang. Jadi lakukan ibadah secara menyenangkan.
• Selama Ramadan Gerai Perpanjangan SIM di DKI Buka dan Tutup Lebih Awal
Ibadah memang hal serius tapi bukan berarti cara mengajarkannya juga harus serius dan kaku.
Misalnya, orang tua bisa mengajarkan tentang ibadah kepada anak lewat lagu atau buku-buku cerita yang menarik.
Menurut Vera, orang tua, dapat menarik beberapa kesimpulan penting yang dapat diterapkan dalam pengajaran ibadah pada anak:
• Hadiah boleh-boleh saja, mengingat anak masih sulit memahami hal yang abstrak seperti pahala dan masih membutuhkan motivasi ekstrinsik.
Tetapi hadiah sebaiknya tidak berlebihan. Tidak harus berupa barang atau uang. Bisa saja pengalaman yang menyenangkan.
• Sejalan dengan pemberian motivasi ekstrinsik, kembangkan terus motivasi instrinsik anak. Berikan dia pujian atas usaha ibadahnya agar muncul rasa bangga pada diri sendiri.
• Pengajaran ibadah yang baik untuk anak adalah memberikan contoh dan menjadikannya kebiasaan sehari-hari.
Anak memang peniru ulung karena dapat lebih mudah menyerap dan menerapkan apa yang diajarkan. Jangan lupa, selalu melakukannya dalam suasana senang.