Begini Argumentasi Pedagang Soal Pelarangan Berjualan Daging Anjing di Bali, dan Sejarah RW
Begini Argumentasi Pedagang Daging Anjing Soal Pelarangan Berjualan 'RW' di Bali. Simak pula sejarah masakan RW khas nusantara.
Masyarakat Minahasa mulai mengonsumsi anjing ketika buruan di hutan telah habis.
Ia memperkirakan saat itu bersamaan dengan telah kokohnya Kristen di Minahasa pada abad ke-16.
Karena pada masa itu masyarakat Minahasa mulai berkembang, pemukiman warga mulai padat.
Hutan yang dalamnya ada buruan pun menghilang.
Masyarakat Minahasa sendiri adalah warga keturunan ras Mongoloid.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Orang-orang Mongol terkenal dengan budaya makannya yang ekstrem.
Kondisi itu sama persis dengan budaya Minahasa saat ini.
Menurut Christian, kondisi alam dan letak geografis yang sama, membuat orang Mongol bisa bertahan hidup di tanah yang kemudian disebut Minahasa.
Kondisi alam memang mendukung prilaku manusia.
“Anjing-anjing di Minahasa ini kemungkinan memang dibawa bangsa Mongol ke tanah yang kemudian disebut Minahasa ini. Seiring berjalan waktu, karena naluri bertahan hidup, pada akhirnya warga Minahasa yang awalnya menjadikan hewan ini sebagai sahabat, akhirnya memakan mereka juga. Bahkan Jessy Wenas menulis, di abad modern kebiasaan Minahasa memakan daging ekstrem makin menggila,” jelas Christian.
Budayawan Greenhill Weol memberikan pandangan lebih spesifik soal anjing di Minahasa.
• Unai Emery: Arsenal Tidak Boleh Salah Lagi
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Ia mengatakan sejarah kedekatan anjing dengan masyarakat Minahasa telah melalui perjalanan panjang.
Anjing telah mewarnai sejarah terbentuknya Minahasa.
Orang-orang yang datang di tanah adat, yang kemudian disebut Minahasa, datang bersama anjing-anjing peliharaan mereka.
“Sebab anjing bukan hewan endemik di Minahasa. Anjing sendiri memang telah bersama manusia sejak proses penyebaran manusia ke seluruh dunia. Jadi kalau ditanya kapan sejarah Minahasa makan anjing, itu panjang sekali,” ujarnya.
Greenhill kurang setuju jika menyebut orang Minahasa memang khusus makan anjing.
Sebab orang-orang yang dikenal sebagai leluhur Minahasa memang sudah hidup akrab dengan anjing.
Manusia purba yang hidup berkelompok menjadikan anjing sahabat untuk berburu dan menjadi sahabat keluarga.
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Vakum di Panggung Hiburan, Asty Ananta Kini Lebih Fokus ke Dunia Kesehatan dan Pendidikan
“Orang Minahasa butuh anjing sejak dulu hingga sekarang. Saat berkebun, berburu di hutan, anjing sangat membantu. Sekarang saja saat orang Minahasa ke kebun pasti membawa anjing. Jadi karena kedekatan ini, anjing telah menjadi sahabat juga menjadi makanan. Waktunya sejak kapan, lama sekali, tak bisa ditentukan,” ujarnya.
Masalah yang ditemukan sekarang ketika konsumsi daging anjing di Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya dilihat dengan kacamata modern.
Orang barat hari ini tak lagi mengonsumsi anjing. Tetapi dulu waktu perang dunia I dan II, mereka tetap juga makan anjing.
Kondisi di mana mereka mengalami krisis pangan, tak ada lagi bahan untuk dimakan.
Menurut Greenhill itu juga yang terjadi di Minahasa.
Seiring berjalannya waktu, ia yakin masyarakat Minahasa akan sadar bahwa anjing dan kucing yang adalah hewan domestik, bukanlah makanan.
Hal ini hanya bisa dipercepat dengan edukasi ke masyarakat, banyak orang yang berbicara bahwa anjing itu sahabat manusia.
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Pengamat Terorisme: Cara Bergerak dan Modus Bomber Sri Lanka, Serupa Jaringan Teroris Indonesia
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
“Perlahanan saya yakin generasi ke depan akan menjadi seperti di barat, tak memandang anjing sebagai makanan,” ucapnya.
Namun ia berkata jangan menyalahkan budaya Minahasa yang dengan secara langsung mengatakan masyarakat Minahasa itu bar-bar karena mengonsumsi anjing.
Perjuangan organisasi pecinta hewan juga harus melihat kearifan lokal dan kontekstual. Perdagangan anjing dan kucing juga menjadi ladang bisnis.
Banyak warga menggantungkan sumber ekonomi mereka dari bisnis ini.
“Beri waktu pada masyarakat Minahasa untuk dewasa lewat edukasi. Organisasi yang menyuarakan anjing dan kucing bukan makanan itu saya yakin tujuannya untuk kebaikan. Tapi jangan menyerang budaya, itu buruk saya katakan. Karena ada kecenderungan membalas. Harus dengan perlahan. Menyerang budaya, itu artinya menyerang manusianya. Sifat dasar manusia yang diserang, bisa menyerang balik,” ucap Greenhill.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Konsumsi daging anjing bagi masyarakat Minahasa memang tak pernah dilarang secara tradisi maupun agama.
Minahasa yang memeluk agama Kristen Protestan, diperbolehkan memakan segala jenis hewan yang ada di muka bumi.
Menurut Pendeta Danny Weku, dalam ajaran agama Kristen yang memperbolehkan manusia makan segalanya ada di kitab Timotius dan Korintus.
“Dari tradisi dan agama, masyarakat Minahasa sudah punya pandangan bahwa anjing bisa dimakan. Tak ada larangan apapun. Kecuali mungkin hewan yang dianggap sakral seperti burung Manguni,” ucap Weku yang juga pemerhati budaya ini.
Artikel ini dikompilasi dari berita di Tribun Bali dan Tribun Manado dengan judul Begini Pengakuan Pedagang Daging Anjing Selama 24 Tahun di Bali, Theodorus Beberkan Fakta Ini, dan Awalnya Anjing Jadi Teman Berburu, Kini Pesta Tak Lengkap tanpa Menu RW,
Penulis: Wema Satya Dinata dan Finneke