Kisah Pendayung Sampan Terakhir di Sungai Siak, Angki yang Tak Pernah Minta Upah
Kisah Pendayung Sampan Terakhir di Sungai Siak, Angki yang Tak Pernah Minta Upah
Figur tubuhnya terlihat makin ringkih dimakan usia, namun Angki (67) masih setia menbantu warga menyeberangi Sungai Siak sepanjang hidupnya.
Dari tepian Sungai di Siak, ia mengayuh sampannya ke tepian bagian Benteng Hulu, Mempura.
Kamis (28/2/2019) petang, Tribunsiak.com berkesempatan menelusuri aktivitas Angki.
Dari Kelenteng Hock Siu Kiong, TribunPekanbaru.com ditemani seorang ibu berdarah Tionghoa ke rumah Angki.
Di ujung turap, pedestrian pelancong di depan kelenteng tua Siak itu, terlihat jembatan-jembatan papan dari rumah-rumah kayu menjorok ke sungai.
Silang pintang papan dari rumah-rumah panggung ke tepian sungai menyisakan wajah asli pemukiman di tepian Sungai Siak itu.
Yang bermukim di sana adalah warga Tionghoa yang sudah tinggal lebih seabad lamanya.
"Angki, Angki, ada orang mau nyeberang," teriak ibu itu sambil mengangkat tangannya ke arah Angki.
Angki yang tanpa baju membalas dengan lambaian tangan.
Ia masuk ke dalam rumah lalu keluar lagi setelah mengenakan kemeja lengan pendek.
Ia berjalan cepat ke tepian sungai, lalu naik ke sebuah sampan kayu panjang lebih kurang 2 meter.
"Ayo naik," teriak Angki yang telah siap di atas sampannya sambil memegang 2 pendayung.
TribunPekanbaru.com naik ke sampan itu. Angki ligat memutar haluan sampannya. Sesekali keningnya mengernyit melawan arus.
Pekerjaan itu, sudah dilakoninya sejak 55 tahun silam.
"Mau nyeberang ke Benteng aja?," bahasa Indonesianya khas lidah Tionghoa.
Kecipak riak memecah kesunyian sungai terdalam Indonesia itu.
Semakin lama, kami semakin menjauh dari tepian Siak dan semakin mendekat ke tepian Mempura.
Kapal tongkang penarik kayu-kayu akasia milik pabrik kertas tampak beringsut dari kejauhan.
Angki harus menghindari kapal-kapal tongkang, atau kapal peti kemas yang lewat. Jika tidak, sampan yang didayung Angki bisa terbalik.
Sore itu, tepian sungai Siak benar-benar lengang. Rumah-rumah kayu yang berjembatan ke tepian sungai hanya tinggal beberapa saja.
Sisanya sudah menjelma menjadi turap beton, seperti penataan tepian Singapura.

Sampan Terakhir di Sungai Terdalam
Suasana tradisional warga Tionghoa nyaris hilang di sana. Tepian itu kini menjadi tempat berjalan-jalan bagi warga lokal saban malam.
"Sebelum turap dibangun, masih banyak orang menumpang di sampan Angki," ceritanya sambil terus mendayung.
Tepian Benteng tinggal beberapa meter lagi. Angki menawarkan merapat di bagian turap bertangga.
Namun Tribunpekanbaru.com meminta untuk berputar arah saja. Kala Angki memutar kembali haluan sampannya, seseorang berteriak.
"Angki, Angki, tunggu," teriak seorang pria muda sambil melambaikan tangan.
Telinga Angki cukup kuat menangkap panggilan itu.
Dengan sigap, ia pun memutar kembali sampannya ke tepian Benteng. Pria itu kemudian naik, minta diantar ke tepian depan kelenteng. Kami jadi bertiga di atas sampan.
Angki bukanlah nama resmi. Namanya Herman Suhairi. Keluarganya memanggil Aki lalu warga di Siak dan Benteng memanggilnya Angki.
Dia juga lebih senang dipanggil Aki atau pun Angki.
Ia memilih hidup sendiri sampai pada usia senja ini. Tanpa pernah menikah.
Entah pernah mencoba jatuh cinta atau tidak, Angki malas membahas itu. Bahkan, ia tidak pernah naik mobil.
Ia merasa hidupnya berada di atas permukaan sungai, di antara dua tepian. Padahal wajah Angki waktu masih muda, katanya, lumayan ganteng.
"Saya tak punya anak, bujang sampai sekarang," katanya sambil tertawa.
Selama lebih setengah abad bekerja mendayung sampan, kini ia disebut sebagai pendayung terakhir Sungai Siak di Siak.
Juga disebut pendayung legendaris hidup Sungai Siak. Hidupnya telah banyak mengecap asam garam kehidupan penyeberangan.
Sebelum jembatan megah Tengku Agung Sultanah Latifah (TASL) dibangun, Angki juga punya pesaing dalam merebut hati penumpang.
Sejak jembatan TASL dapat dilewati pada 2007 silam, pesaingnya bertumbangan. Mencari peruntungan, ojek sampan tak lagi menjanjikan.
"Tinggallah saya sendiri, sampai sekarang," kata Angki.

Tidak Ada Tarif Upah
Ia seakan tidak mau menekuni pekerjaan lain, sebagaimana kebanyakan warga Tionghoa lainnya yang sukses pada perniagaannya.
Bagi Angki, rezeki sudah ditentukan oleh Yang Di Atas.
Meski pun akses Siak-Mempura sudah terhubung oleh jembatan yang sangat ikonik di Siak, tapi sampannya masih saja ada yang menumpangi.
Selama ia mendayung sampan, tak pernah ada tarif upah. Kerap pula penumpang mengasih upah dengan angka sangat kecil, dan tak jarang pula yang gratis.
Angki, tidak pernah menagih itu setelah penumpang diantarkan ke tepian.
Pernah suatu waktu. Pada malam yang gelap, Angki mendapat penumpang sekitar 4-5 orang pria. Sebelum pria-pria itu naik ke atas sampan, Angki dihinggapi firasat aneh.
"Bauk tuak mulut mereka. Mabuk mereka," kata Angki.
Saat perjalanan sampai di tengah sungai, pria yang mabuk itu justru mengancam Angki.
Ada yang mengancam akan dibunuh, ada yang ingin menenggelamkannya di arus sungai. Tapi Angki hadapi dengan hati-hati sambil terus mendayung ke tepian.
"Sampai di tepian, mereka tidak memberi bayaran apa-apa selain mengancam saya," kenang dia.
Peristiwa itu tidak hanya sekali dua kali ia alami.
Tapi dengan keyakinan yang kuat, Angki masih hidup sehat sampai sekarang. Ia masih terus mengantarkan penumpang untuk menyeberang, tanpa meminta upah sepersen pun.
"Tapi banyak juga yang baik hati. Saat ini kadang dikasih Rp 5.000 sekali nyeberang," ulas dia.
Uang Rp 5.000, harga yang sangat kecil bagi pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa seperti itu.
Namun di tengah malam sekalipun, jika ada yang mengetuk pintu rumahnya di tepian itu, Angki siap sedia menyeberangkan penumpang.
Kesederhanaan dan ketulusan hati seorang Angki kini menjadi pembicaraan warga sekitar.
Bahkan generasi millennial sekalipun kerap menjadikan foto dan cerita Angki sebagai penghias laman-laman akun-akun sosial mereka.

Penghargaan dari Bupati
Bupati Siak periode 2001-2006, 2006-2011, Arwin AS, pernah memberikannya piagam penghargaan.
Waktu itu umur angki baru 50-an tahun.
Entah ketenangan macam apa yang ada pada diri Angki memilih hidup seperti itu.
Tanpa menagih upah, tapi terus mengantarkan penumpang. Jika pun ada tarif bayaran, sudah dapat dipastikan tidak juga akan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi bagi Angki, ketenangan hidup bukanlah pada upah yang banyak. Memilih setia dengan dayung dan sampan adalah ketenangan abadi bagi dirinya.
Kata dia, adik dan kakaknya, serta keluarga lain tidak pernah melarangnya untuk melakukan pekerjaan itu.
"Adik-adik saya tak marah, keluarga saya yang lain juga tak marah," kata dia.
Ditanya apa sesungguhnya yang dicari, Angki juga tidak pandai menjawabnya. Ia hanya mengatakan tenaganya masih ada, masih cukup kuat untuk mendayung.
"Sekali tenaga masih ada, kalau sudah habis tenaga baru berhenti," kata dia.
Rio, pemuda yang saban sore menumpangi sampan Angki menyebut sudah lama kenal dengan sosok sederhana itu. Kata dia, Angki orang baik.
"Beliau orang baik. Dia membantu kami menyeberang dengan sampannya," kata Rio.
Pemuda yang bertempat tinggal di Jalan Sutomo, jantung Kota Siak, Sri Indrapura itu kerap menggunakan jasa Angki.
Karena ia sering mengunjungi temannya yang ada di tepian Sungai Siak bagian Benteng.
"Menyeberang dengan Angki ini lebih cepat. Kalau naik motor kan keliling dulu naik jembatan," kata dia.
Selama menumpang dengan sampan Angki, ia tak pernah ditagih. Namun ia sadar selalu mengeluarkan sedikit uang untuk Angki.
Penulis: Mayonal Putra