KPK Harus Merespon Sanksi Denda Adat Agar Pemberantasan Korupsi di Papua Maksimal
KPK diminta merespon sanksi denda adat yang diajukan sekelompok orang agar pemberatansan korupsi di Papua berjalan optimal.
Penulis: Budi Sam Law Malau |
Dalam sebuah aksi unjuk rasa damai yang digelar di Jayapura dan berpusat di Kantor Pemprov Palua, Rabu (13/2/2019) lalu, masyarakat adat Papua yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu Bela Papua menjatuhkan sanksi berupa denda adat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebesar Rp 10 triliun
Alasannya KPK dinilai oleh masyarakat adat Papua telah berupaya melakukan kriminalisasi dan pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya dalam peristiwa di Hotel Borobodur, Sabtu (2/2/2019) lalu.
Saat itu penyelidik KPK berupaya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Papua dan jajarannya, yang sedang menggelar rapat evaluasi anggaran bersama DPRD Papua dan Kemendagri.
Namun OTT yang dilakukan penyelidik KPK gagal hingga berujung pelaporan adanya pengeroyokan terhadap penyelidik KPK di sana oleh pegawai Pemprov Papua ke Polda Metro Jaya.
Kuasa Hukum Pemprov Papua Sfefanus Roy Rening mengatakan secara konstitusi denda adat atau hukum adat seperti di Papua ini diakui di Indonesia berdasarkan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 Amandemen ke- 4.
Pasal itu menyatakan bahwa negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Jadi hukum adat dan segala putusan serta sanksi didalamnya hidup dan mesti ditaati," kata Roy, Senin (18/2/2019)
Dengan sanksi ini katanya dalam konteks hukum adat, KPK dianggap oleh masyarakat adat Papua yang mencermati kasus ini sejak awal, telah mempermalukan pemimpin mereka Gubernur Papua.
"Karenanya KPK harus dan wajib merespon putusan masyarakat adat dengan berkomunikasi kepada para pemimpin suku di masyarakat adat Papua," kata Roy.
Sebagai penegak hukum kata Roy, KPK harus hadir ke Papua atas putusan denda adat ini dan memiliki kewajiban menyelesaikannya dengan banyak cara jika memang tidak mampu membayar denda adat yang ditetapkan.
"KPK bisa berkomunikasi dengan masyarakat adat Papua melalui Majelis Rakyat Papua atau MRP sebagai lembaga kultural, atau pihak lain. Intinya KPK sebagai penegak hukum mesti mengkomunikasikan sanksi denda adat ini ke masyarakat adat Papua," kata Roy.
Dengan mengkomunikasikan denda adat ke masyarakat adat Papua, kata Roy, KPK bisa menjelaskan permasalahan ini hingga menegosiasikan sanksi denda adat yang diberikan serta cara yang harus dilakukan secara adat.
"Misalnya KPK bisa meminta maaf kepada masyarakay adat Papua atas apa yang dilakukannya atau juga meminta maaf ke Gubernur Papua," katanya.
Jika KPK tidak merespon sanksi denda adat yang dijatuhkan masyarakat adat Papua ini, kata Roy maka ada konsekuensi signifikan yang terjadi atas lembaga KPK.
"KPK menjadi lembaga yang tidak dipercaya masyarakat adat Papua. Sehinggg penegakan hukum oleh KPK di Papua tidak akan efektif. Serta pemberantasan korupsi oleh KPK di Papua, tidak akan berjalan maksimal. Sebab masyarakat Papua sudah tidak percaya KPK, karena KPK tidak mentaati dan menghormati proses hukum adat dan sanksinya yang telah diputuskan oleh masyarakat adat Papua," kata Roy.
Denda adat dari masyarakat adat Papua kepada KPK Rp 10 Triliun, dijatuhkan atau diberikan saar unjuk rasa atau aksi damai oleh ribuan masyarakat adat Papua digelar depan Kantor Gubernur Papua, Rabu (13/2/2019) lalu.
Mereka mengecam upaya kriminalisasi KPK terhadap Gubernur Papua yang juga dianggap sebagai upaya pembunuhan karakter terhadap Gubernur Papua.
Karenanya masyarakat adat berunjuk rasa sebagai bentuk dukungan terhadap Gubernur Papua, yang dinilai telah menjadi korban kesewenang-wenangan KPK.
"KPK dianggap telah mempermalukan Gubernur Papua Lukas Enembe yang merupakan salah satu kepala suku besar di wilayah hukum adat Papua. Masyarakat adat Papua marah karena harkat, martabat, dan wibawa pemimpin mereka telah direndahkan oleh KPK," kata Roy.
Ia mengatakan denda adat masih berlaku di Papua meliputi 5 wilayah hukum adat yakni Ahim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saeran.
Denda adat ini kerap diterapkan masyarakat adat Papua untuk menyelesaikan sejumlah masalah diantara warga mulai dari pencemaran nama baik, perkawinan, perebutan hak hingga perang suku.
Seperti diketahui akibat peristiwa di Hotel Borobudur, Sabtu (2/2/2019) tengah malam lalu, KPK dan Pemprov Papua saling membuat laporan tindak pidana ke Polda Metro Jaya.
KPK melaporkan adanya dugaan pengeroyokan terhadap penyelidiknya oleh pegawai Pemprov Papua ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, sesuai Pasal 170 KUHP, serta Pasal 211 KUHP dan atau Pasal 212 KUHP tentang menghalang-halangi petugas negara, Minggu (3/2/2019).
Sebab saat itu pegawaI KPK sedang ditugaskan untuk melakukan pengecekan lapangan merespon laporan masyarakat tentang adanya indikasi korupsi saat rapat evaluasi anggaran Pemprov Papua digelar di sana.
Dalam rapat, hadir Gubernur Papua Lukas Enembe serta jajarannya, anggota DPRD Papua dan pihak Kemendagri.
Penyidik sudah menaikan status laporan kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan. Karena dianggap sudah mengantongi bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana pengeroyokan.
Sebaliknya Pemprov Papua melaporkan balik KPK atas tindak pidana di bidang ITE dan/atau pencemaran nama baik dan/atau fitnah melalui media elektronik Pasal 27 ayat (30) juncto Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2018 tentang ITE.
Laporan tercatat dengan nomor LP/716/II/2019/PMJ/Dit.Reskrimsus tertanggal 4 Februari 2019.
Alasan pelaporan karena Pemprov Papua membantah adanya pengeroyokan terhadap pegawai KPK di sana berdasar foto korban saat berada di Mapolda Metro Jaya.
Saat itu sejumlah pegawai Pemprov Papua mengamankan dan membawa penyelidik KPK ke Polda Metro Jaya karena gerak-geriknya mencurigakan dan kedapatan memfoto Gubernur Papua serta sejumlah pegawai lain secara diam-diam.
Bahkah saat diinterogasi, penyelidik pegawai KPK, sempat berbohong terkait identitasnya.
Atas semua itu Pemprov Papua menilai ada upaya kriminalisasi KPK terhadap Gubernur Papua. Keberadaan penyelidik KPK di Hotel Borobudur dianggap upaya operasi tangkap tangan (OTT) Gubenrnur Papua meski tanpa bukti permulaan yang cukup.
Nyatanya OTT gagal dan tidak ada bukti apapun yang didapat penyelidik KPK saat itu. Karenanha KPK dinilai menggeser isu ke dugaan pengeroyokan setelah gagal melakukan OTT.