Pilpres 2019
Fadli Zon Bikin Puisi Lagi Hadirkan Sajak Orang Kaget
Biasanya, setelah puisi itu dipublikasikan, Fadli Zon akan menjadikannya sebagai lagu yang diunggah di YouTube seperti Tangan Besi, Sontoloyo.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon kembali menghadirkan puisi karya dia, Rabu (13/2/2019).
Berikut puisi karya terbarunya:
SAJAK ORANG KAGET
orang kaget mudah nyerempet
rapat kabinet bisa macetmacet pikiran menggerus
logika macet kebijakan ditebus rekayasa
macet elektabilitas dijurus citra
orang kaget masuk got gorong-gorong
di kolong ketemu hantu kecebong
menyampaikan mimpi siang bolong
ditanya persoalan negeri hanya terbengong
orang kaget bikin mantra mobil esemka
jampi mujarab seketika masuk Jakarta
tak lama membuka gerbang istana
tapi di Istana tak tahu harus berbuat apa
orang kaget terkaget kaget berentet rentet
kaget honor guru rendah sekali
kaget harga tiket pesawat begitu tinggi
kaget harga jagung tak terjangkau lagi
kaget masih banyak pungli
kaget racun kalajengking jadi solusi
kaget dipatil udang oposisi
kaget mikrofon mematuk mulut sendiri
kaget tak tahu apa yang terjadi
orang kaget terkaget kaget berentet rentet
besok jangan kaget
ketika kursi hilang ke awang-awang
kutukan melayang terbang
rakyat menjemput harapan terang
rakyat girang Indonesia menang!
Fadli Zon, Jakarta, 13 Februari 2019
Biasanya, setelah puisi itu dipublikasikan, Fadli Zon akan menjadikannya sebagai lagu yang diunggah di YouTube seperti Tangan Besi, Sontoloyo, yang populer dan banyak dinyanyikan sejumlah kalangan masyarakat.
Puisi yang kembali hadir ini merupakan salah satu reaksi yang muncul dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut jelang hadirnya debat Calon Presiden (Capres) 2019 yang akan digelar, 17/2/2019.
Debat tersebut akan diikuti oleh capres 01 yaitu Joko Widodo yang berhadapan dengan capres 02 Prabowo Subianto.
Debat capres ini tidak diikuti calon wakil presiden (cawapres) masing-masing.
Dalam debat sebelumnya, sejumlah kecaman dan kritik mengemuka karena debat itu banyak larangan, yang mengakibatkan capres dan cawapres tampil kaku bahkan ada pasangan yang tampil dengan membaca contekan.
Sebelumnya, Fadli Zon juga menyatakan kritik tajam terkait perlakuan tidak adil dalam menangani kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang dikaitkan dengan Hari Pers Nasional.
Berikut pandangan yang disampaikan Fadli Zon terkait kebebasan pers.
Pemberian penghargaan Kemerdekaan Pers kepada Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Surabaya hari ini, 9 Februari 2019, sangat ironis.
Ini seharusnya membuat insan pers merasa prihatin.
Penghargaan terjadi di tengah kembali maraknya fenomena “blackout” untuk berita-berita yang dinilai bisa merugikan penguasa—seperti berita Reuni Alumni 212.
Selain itu, masih hangat pemberian remisi terhadap otak pembunuhan wartawan Radar Bali yang membuat banyak orang marah.
Penghargaan kepada Pak Jokowi itu memang pantas dikritik.
Perlukah pers menjilat pada kekuasaan yang seharusnya mereka kontrol dan awasi?
Kita semua perlu menyadari bahwa institusi pers bukan hanya mewakili para pekerja pers atau pemilik industri media semata, melainkan juga mewakili suara dan kepentingan publik.
Pers adalah penyambung lidah publik.
Itu sebabnya dalam kajian demokrasi atau ilmu politik, pers selalu mendapatkan atribut yang istimewa.
Pers jangan terkooptasi oleh kepentingan pemilik modal.
Sebagai penyambung lidah publik, tentunya jadi memprihatinkan ketika sebagian pers hari ini lebih banyak hadir sebagai brosurnya penguasa, dan bukannya sebagai ‘watch dog’ yang mengawasi jalannya pemerintahan.
Ini pula saya kira yang telah membuat kenapa kepercayaan publik kepada media-media mainstream kemudian cenderung melemah dan sumber informasi jadi beralih hampir sepenuhnya kepada “jurnalisme warga” yang ada di media sosial.
Hari ini, ancaman terbesar terhadap kemerdekaan pers mungkin tak berasal dari penguasa, melainkan dari sikap partisan insan pers itu sendiri.
Apalagi ketika pemilik media menjadi penentu arah redaksi pemberitaan.
Sehingga kita tak mendapat liputan berimbanh (cover both sides).
Jika ini terjadi, tentu saja merupakan sebuah kerugian bagi perkembangan pers dan demokrasi kita.
Itu sebabnya pada peringatan Hari Pers Nasional ini, kita berharap agar pers di tanah air bisa mengingat kembali khittahnya sebagai ‘the fourth estate’ alias pilar keempat demokrasi.
Di tengah-tengah banyaknya persoalan yang membelit pilar demokrasi lainnya, kita berharap, agar pers tak kehilangan fungsi sebagai alat kontrol kekuasaan.
Tugas pers memang bukanlah menyanjung-nyanjung pemerintah, tapi mengawasi mereka.