Pasien Kanker Payudara Gugat BPJS Kesehatan ke Pengadilan Setelah Musyawarah Buntu

Pihak BPJS Kesehatan masih tetap menolak untuk menjamin Trastuzumab untuk penderita kanker payudara HER2 Positif sejak 1 April 2018.

Editor: Murtopo
Tim Advokasi Trastuzumab
Pertemuan antara delegasi BPJS Kesehatan dan Tim Advokasi Trastuzumab terkait kasus pasien Kanker Payudara HER2 Positif, Juniarti, di Gedung Graha Pratama Lantai 20, Tebet, Jakarta Selatan, pada Senin (23/7/2018) sekitar pukul 10.00 WIB. 

BPJS Kesehatan akhirnya memenuhi panggilan somasi Tim Advokasi Trastuzumab terkait kasus pasien kanker payudara HER2 Positif yang dialami Juniarti.

Pertemuan tersebut berlangsung di Gedung Graha Pratama Lantai 20, Tebet, Jakarta Selatan, pada Senin (23/7/2018) sekitar pukul 10.00 WIB.

Dari delapan orang delegasi BPJS Kesehatan, turut hadir Asisten Deputi Hukum BPJS Kesehatan M Makhruf, Asisten Deputi Bidang Utilisasi dan Anti-fraud Rujukan BPJS Kesehatan Elsa Novelia dan Kepala Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat.

Sedangkan dari Tim Advokasi Trastuzumab diwakili Rusdianto Matutaluwa, Wahyu Budi Wibowo dan Andre Abrianto Manalu.

Namun, perundingan yang berlangsung selama dua jam itu menemui jalan buntu.

Pihak BPJS Kesehatan masih tetap menolak untuk menjamin Trastuzumab untuk penderita kanker payudara HER2 Positif sejak 1 April 2018.

"Tim Advokasi Trastuzumab sudah mengingatkan BPJS Kesehatan bahwa dengan melakukan itu mereka sama saja sedang dalam proses menghilangkan nyawa salah satu pasien kanker payudara HER2 Positif, Juniarti, yang baru terdeteksi Mei 2018," ujar Rusdianto Matulatuwa dalam rilis yang diterima Warta Kota, Selasa (24/7/2018).

Kabar buruk tersebut juga disampaikan Tim Advokasi Trastuzumab kepada suami Juniarti, Edy Haryadi.

Saat itu, Juniarti baru saja keluar dari Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Timur.

Juniarti kembali harus dirawat karena tubuhnya drop akibat pikirannya tercurah pada gugatan hukum soal Trastuzumab setelah kemoterapi pertama tanggal 10 Juli 2018 lalu.

Akibatnya ia sempat dirawat lagi selama empat hari.

"Karena kesepakatan sudah macet, maka penggugat, yakni Edy Haryadi (suami Juniarti) dan Juniarti (penderita kanker payudara HER2 Positif) sepakat memutuskan mencari keadilan di depan hukum. Menurut mereka, biar hakim menjadi wasit. Sebab, hal itu sama saja menegaskan BPJS Kesehatan kini tengah mempermainkan nyawa Juniarti dan penderita kanker payudara HER2 Positif lainnya," kata Rusdianto Matulatuwa.

Ia menilai meski tak diakui, kian jelas motivasi BPJS Kesehatan menghapus Trastuzumab bagi penderita kanker payudara HER2 Positif karena obat itu terlalu mahal.

Ibaratnya, BPJS Kesehatan sama saja memakai kaca mata kuda meski pertaruhannya adalah nyawa Juniarti dan penderita kanker payudara HER2 Positif lainnya.

"Bila tidak ada aral melintang, gugatan itu akan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maksimal Jumat pekan ini," tutur Rusdianto Matulatuwa.

Presiden Jokowi akan menjadi Tergugat I.

Karena sesuai Undang-Undang, Direksi BPJS Kesehatan bertanggungjawab pada Presiden RI.

Setelah isu ini mencuat, Kementerian Kesehatan dan Presiden Jokowi tetap diam dan membiarkan masalah ini terus berlarut-larut dan itu bisa ditafsirkan menyetujui tindakan direksi BPJS Kesehatan.

"Tergugat II adalah Menteri Kesehatan, sebab lahirnya Dewan Pertimbangan Klinis BPJS Kesehatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Tergugat III adalah Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris. Sedang tergugat IV adalah Dewan Pertimbangan Klinis BPJS Kesehatan," ucap Rusdianto Matulatuwa.

Warta Kota telah mencoba menghubungi Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris dan Kepala Bagian Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat pada Selasa sore, namun belum ada respon.

Akan tetapi sebelumnya, Kepala Bagian Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat mengatakan dokter penanggungjawab Juniarti akan memberikan terapi dan obat alternatif pengganti Trastuzumab yang sudah tidak dijamin lagi oleh BPJS Kesehatan sejak 1 April 2018.

Juniarti merupakan seorang pasien penderita Kanker Payudara HER2 Positif yang diresepkan oleh dokter untuk mengonsumsi Trastuzumab.

Dalam kasus ini, dokter penanggungjawab Juniarti telah diajak berdiskusi dengan Dewan Pertimbangan Klinis dan Dewan Pertimbangan Medis.

Dokter inilah yang nantinya akan meresepkan terapi atau obat apa yang cocok untuk Juniarti sebagai pengganti Trastuzumab.

"Jadi jangan salah arti. Trastuzumab tidak dijamin lagi oleh BPJS Kesehatan bukan berarti kami melepas jaminan secara keseluruhan terhadap pasien. Kami tetap akan menjamin terapi atau obat pengganti Trastuzumab itu," kata Nopi Hidayat kepada Warta Kota, Jumat (20/7/2018).

Sementara itu, Edy Haryadi, suami Juniarti saat dihubungi pada Sabtu (21/7/2018) mengaku belum mendengar rekomendasi apapun dari dokter yang menangani istrinya terkait terapi atau obat pengganti Trastuzumab seperti yang dikatakan Kepala Bagian Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat.

"Intinya untuk pertanyaan anda apakah dokter sudah mengomunikasikan ke saya alternatif pengobatan selain Trastuzumab seperti yang ditawarkan BPJS Kesehatan, saya pastikan tidak ada. Karena memang bagi penderita Kanker Payudara HER2 Positif pilihannya terbatas. Dan hanya Trastuzumab yang sudah teruji secara medis, ilmiah dan empiris memperpanjang usia hidup penderita Kanker Payudara HER2 Positif," tutur Edy Haryadi.

Hingga kini BPJS Kesehatan masih akan tetap berpegang teguh pada rekomendasi Dewan Pertimbangan Klinis dan Dewan Pertimbangan Medis yang berada di bawah Kementerian Kesehatan RI.

Kedua dewan pertimbangan tersebut merekomendasikan Trastuzumab tidak lagi efektif untuk pasien penderita Kanker Payudara HER2 Positif.

Hal inilah yang menjadi dasar ditariknya Trastuzumab dari daftar obat yang dijamin oleh BPJS Kesehatan per 1 April 2018.

"Jadi sesuai rekomendasi dari dewan pertimbangan klinis Trastuzumab telah dinyatakan tidak efektif lagi untuk pasien kanker. Oleh karena itu BPJS Kesehatan tidak lagi menjamin sejak 1 April 2018, kecuali untuk mereka yang sebelum itu, sebelum 1 April 2018 sudah diresepkan dan masih dalam periode siklus pengobatan."

"Siklusnya kan 8 kali itu masih diteruskan sedangkan yang baru tidak dijamin lagi," tutur Nopi Hidayat kepada Warta Kota di kantor pusat BPJS Kesehatan, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (20/7/2018).

Menurutnya, keputusan efektif atau tidaknya Trastuzumab adalah kewenangan dari Dewan Pertimbangan Klinis dan Dewan Pertimbangan Medis.

Dalam hal ini BPJS Kesehatan hanya bertindak sebagai pihak penjamin.

"Jadi bukan kami (BPJS Kesehatan) yang memutuskan bahwa ini Trastuzumab efektif atau tidak efektif. Dalam Formularium Nasional itu banyak pilihan obat tergantung dokter penanggungjawab pasien bukan diserahkan kepada peserta BPJS Kesehatan tentunya," ucapnya.

Rusdianto Matulatuwa menegaskan tujuannya melayangkan somasi kepada BPJS Kesehatan adalah untuk mengusahakan jalan tengah terlebih dahulu sebelum dibawa ke jalur hukum melalui gugatan ke pengadilan.

Menurutnya, akan lebih baik jika suatu masalah diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Namun, jika BPJS Kesehatan tetap mengabaikan keinginan kliennya, Rusdianto Matulatuwa bersama timnya terpaksa menempuh jalur hukum.

"Pada kasus ini yang menjadi titik konflik adalah nyawa seseorang jadi kami tidak bisa berlama-lama. Nyawa itu tidak bisa dibeli walaupun punya banyak uang dan tidak bisa diganti. Nyawa ini bukan untuk coba-coba dalam bentuk terapi dan pengobatan. Apapun keterangan dari BPJS Kesehatan sampai saat ini saya anggap mereka masih mengajak saya untuk lawyering," kata Rusdianto Matulatuwa kepada Warta Kota, Sabtu (21/7/2018).

Dikatakannya, apapun alasannya BPJS Kesehatan tidak boleh mangkir di tengah jalan dari melaksanakan kewajibannya.

Entah itu efektif atau tidaknya Trastuzumab, mahal atau tidaknya maupun sedikit atau banyaknya obat tersebut.

Sebab, sejak Juniarti menjadi anggota BPJS Kesehatan pada tahun 2016 lalu, di antara keduanya secara otomatis terdapat hak dan kewajiban.

Sebagai anggota, Juniarti telah menunaikan kewajibannya dengan cara membayar iuran.

Sehingga, dari kewajiban yang dibayarkan itu Juniarti berhak mendapatkan haknya berupa jaminan pengobatan yang menjadi kewajiban BPJS Kesehatan

"Apa gunanya kita masuk jadi anggota BPJS Kesehatan kalau pengobatan tidak ditanggung. Akan lebih cantik bagi BPJS Kesehatan menghentikan jaminan Trastuzumab jika dilakukan terhadap orang yang baru mendaftar sebagai anggota, bukan anggota lama. Jadi ketika sebelum memutuskan bergabung kan orang punya pilihan," tutur Rusdianto Matulatuwa.

Ia juga menyesalkan tindakan BPJS Kesehatan yang tidak mengumumkan penarikan jaminan terhadap Trastuzumab.

Pengumuman atau sosialisasi harus dilakukan secara terbuka, bukan hanya melalui memo internal BPJS Kesehatan.

Lalu, jika kondisi kesehatan Juniarti benar-benar kritis, kenapa yang bersangkutan dan keluarganya tidak membeli Trastuzumab di luar jaminan BPJS Kesehatan?

Berdasarkan keterangan Rusdianto Matulatuwa, harta keluarga Juniarti telah habis untuk membiayai pengobatan penyakit kanker HER2 Positif-nya selama ini.

Satu-satunya yang tersisa hanyalah rumah yang mereka tempati.

Jika rumah tersebut digadaikan, dipastikan Juniarti dan keluarganya tidak akan mampu membayar hutangnya.

"Jadi kata klien saya biarlah negara ini menyaksikannya mati di persidangan. Dia dan kami kuasa hukumnya juga memikirkan pasien lain yang sama sepertinya. Dia rela berjibaku menjadi martir bagi pasien lainnya. Karena salah satu tujuan gugatan kami adalah untuk membatalkan keputusan penghentian jaminan Trastuzumab, tentunya akan memberikan kemudahan bagi pasien lainnya," ucap Rusdianto Matulatuwa.(Hamdi Putra/M15)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved