Eksklusif Warta Kota
Masjid Langgar Berusia Hampir 2 Abad Berdiri Kokoh di Kampung Arab
Saat ini, yang menjadi cagar budaya di kawasan Pekojan, masih dalam pemberdayaan pengurus masjid di setiap cagar budaya tersebut.
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Joko Supriyanto
WARTA KOTA, TAMANSARI -- Kawasan Kota Tua ternyata tidak hanya museum Fatahillah saja, masih ada beberapa cagar budaya yang masih menyisakan cerita-cerita dimasa dahulu.
Mungkin kakek nenek kita pasti tahu persis kampung arab terletak dimana, Kampung Arab sendiri terletak di Jalan Pekojan, Jakarta Barat.
Ketika menyusurin kawasan Pekojan, terlihat beberapa bangunan masjid berdiri dikawasan ini seperti masjid AnNawier, Masjid Al Anshor, Mushola Ar Raudhah, Masjid Langgar Tinggi.
Selain menjadi pemukiman orang-orang Cina, daerah Pekojan dahulu juga dikenal sebagai Kampung Arab.
Banyaknya pedagang keturunan Arab yang tinggal di daerah ini karena lokasinya yang dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, dan dekat pula dengan Kali Krukut yang dulu bisa dilakui kapal.
Meskipun jumlah orang Arab kini tak lagi menonjol, namun jejaknya masih bisa dijumpai hingga kini di Pekojan.
Menurut Habib Achmad Assegaf tokoh masyarakat yang mengetahui betul sejarah Pekojan mengatakan bahwa Koja diartikan india muslim, diantara mereka yang datang adalah para pedagang islam, sambil berdagang mereka berdakwah.
"Jika dahulu hasil dari mereka berdagang dibuat untuk berdakwah, dengan cara membangun masjid, jadi mereka mengeluarkan dana untuk islam," katanya saat ditemui Warta Kota, Senin (31/10/2016).
Salah satunya cagar budaya di Pekojan adalah Masjid langgar, mungkin terlihat biasa saja, tapi makna sejarah masjid ini begitu luar bisa, kenapa seperti itu, dikarenakan masjid ini menjadi pusat para pedagang untuk menurunkan penumpang dan muatan di sini.
Masa itu perahu memang jadi salah satu moda transportasi populer.
Masjid langgar yang terletak persis dipinggir kali Angke/Krukut, tampak masih begitu kokoh berdiri padahal masjid ini sudah berumur ratusan tahun, Masjid Langgar sendiri berdiri sejak 1249 H / 1829 M.
Walau tidak banyak perpaduan ornamen antara Islam dan Tionghoa sangat terasa, warna dan bentuk pintu bangunan pun tidak luput dari setuhan Tionghoa, hal ini menandakan bagaimana tolerasi yang terjalin dimasanya.
Sesuai namanya langgar yang berarti masjid kecil, berbentuk persegi panjang. Tak banyak ornamen di sini.
Teras Langgar Tinggi Pekojan berlantai kayu dan atapnya disangga pilar-pilar bergaya Eropa.
Ujung atapnya melengkung mirip gaya bangunan Cina.
Di sebelah kanan terdapat pintu masuk ke dalam ruang utama yang berjendela dengan kisi-kisi berupa bilah kayu sederhana pula.
Puncak undakan berlanjut ke undakan menurun menuju pintu yang membuka ke kali, tapi kini pintu ke kali sudah tertutup.
Masjid langgar terdiri dari dua lantai, lantai atas sebagai tempat beribadah, sedangkan lantai pertama dibuat kamar-kamar tempat orang bisa menginap.
Hingga kini kamar-kamar di lantai bawah ini masih dipakai sebagai tempat berdagang.
Di bagian depan bangunan tampak undakan untuk masuk ke bagian dalam yang langsung menuju ke lantai dua Langgar Tinggi Pekojan.
"Jadi karena mereka pedagang dan memiliki banyak kolega, dan transportasinya melalui sungai, mereka membuat homestay sementara untuk kolega mereka, jadi dahulunya dilantai bawah digunakan untuk tempat penginapan bagi para kolega pedagang dijamannya," kata Achmad.
Namun Habib Achmad yang menjadi pengurus masjid Langgar mengatakan bahwa pemerintah dinilai kurang dalam melakukan pelestarian cagar budaya. Ia mengharapkan pemerintah bisa cepat tanggap.
"Pemerintah yang terkait dinilai kurang perhatian, terhadap benda cagar budaya yang digunakan oleh pihak lain untuk kepentingan pribadi, sehingga hilang ke aslinya, ini harus menjadi perhatian oleh dinas terkait," katanya.
Masjid ini pernah direnovasi tahun 1993 seperti pengantian genteng dan keramik.
"Dulu masih batu lantainya, sedangkan atapnya masih glaso," kayanya.
Masjid langgar sampai saat ini masih banyak yang mengujungi ketika hari libur seperti hari sabtu dan minggu, turis-turis asing dan komunitas pecinta sejarah masih menyambangin bangunan yang sudah ratusan tahun ini.
Menurut Achmad ciri khas Kampung Pekojan saat ini sudah berangsur hilang pasalnya jika dahulu masih banyak dijumpai orang Arab saat ini sudah tidak banyak lagi dijumpai, mereka sudah banyak pindah seperti ke daerah Condet, Bogor.
"Dengan hilangnya penduduk-penduduk arab membuat kebudayaan arab semakin menghilang, seperti halal bihalal, sunatan massal walaupun ada, sudah tidak seperti dahulu lagi," katanya.
Dahulunya meski berbeda latar belakang, orang-orang Pekojan tetap menjaga toleransi.
Seperti ketika lebaran, warga Tionghoa akan memberikan bingkisan berupa kue kering, sirup, dan sebagainya kepada warga Muslim.
Sementara saat hari raya Imlek, warga Arab gantian memberikan bingkisan kepada warga Tionghoa.
Namun, Achmad mengatakan tradisi tukar-menukar hadiah itu saat ini sudah jarang dilakukan.
Tri Prasetyo, Lurah Pekojan, mengatakan, saat ini, yang menjadi cagar budaya di kawasan Pekojan, masih dalam pemberdayaan pengurus masjid di setiap cagar budaya tersebut.
"Saya mendukung penuh agar pemeliharaan cagar budaya ini terprogram, agar cagar budaya ini bisa terpelihara dengan baik," katanya.
Kondisi bangunan yang sudah tua, diharapkan bisa dilakukan pemeliharaan yang instensif.
"Seperti yang sudah lapuk, atau yang rusak diganti atau direnovasi, agar tidak roboh," katanya.
"Saya juga berharap dari Dinas Pariwisata bisa lebih intens, bagaimana pun juga ini salah satu warisan budaya yang harus kami jaga," lanjutnya.
Dengan adanya penataan wisata Kota Tua, ia berharap bisa mencanangkan kampung wisata religi dikawasan pekojan. "Karena cagar budaya yang ada hampir semuanya tempat ibadah seperti Masjid, Musala, dan Wihara," ujarnya.
"Saya sebagai lurah Pekojan juga sudah melakukan upaya, seperti merapikan bangunan yang dinilai mengurangi cagar budaya," kata Tri.