Pemilukada DKI Jakarta
Hidayat Nur Wahid Dukung Keterangan Mantan Ketua KPK, yang Dinilai, Tak Asbun Soal RS Sumber Waras
Ruki didengarkan keterangannya soal kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
WARTA KOTA, PALMERAH -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid mendukung langkah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki, yang memberikan keterangan di DPR.
Ruki didengarkan keterangannya soal kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.
"Pak Ruki tentu tidak asal ngomong. Karena KPK periode beliau yang minta audit investigasi. Pak Ruki tak akan gambling dengan kredibilitasnya," kata Hidayat di Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Hidayat mendorong agar ada pertemuan lanjutan antara pimpinan KPK saat ini dengan pimpinan KPK periode sebelumnya untuk duduk bersama.
Sebab, jelas ada perbedaan pandangan antara pimpinan KPK saat ini dan KPK yang dipimpin Ruki periode lalu.
Ruki sebelumnya menyebut ada indikasi kerugian negara dalam audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pembelian lahan RS Sumber Waras.
Namun, KPK saat ini menyebut tidak ditemukan kerugian tersebut.
"Rakyat sudah terlanjur paham mengenai masalah ini. Jadi kredibilitas KPK yang dipertaruhkan," ucap Wakil Ketua MPR ini.
Hidayat tak menampik, dengan kasus Sumber Waras yang masih belum jelas ini, maka pintu bagi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama untuk diusung PKS pada Pemilukada DKI semakin tertutup.
"Sejak dari awal juga, PKS menegaskan, kami parpol tak dukung perseorangan. Ini bukan SARA, tapi pilihan politik," ucap Hidayat.
Taufiequrachman Ruki, yang kini menjadi Ketua Mahkamah PPP dan digadang-gadang sebagai Cagub DKI, sebelumnya buka suara soal kasus Sumber Waras.
Ruki menceritakan, audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan berawal saat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemda DKI tahun 2014 terbit.
"Ada temuan nomor 30 saya ingat karena saya teliti betul kesimpulan temuan itu antara lain mengatakan bahwa pembelian Rumah Sakit Sumber Waras telah mengakibatkan Pemda DKI sebesar Rp 191miliar," kata Ruki di Masjid Baiturahman, DPR, Jakarta, Kamis (23/6/2016) malam.
Ruki mempelajari laporan hasil pemeriksaan tersebut dari perspektif auditor.
Ia pun melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut.
Ia pun memerintahkan penyelidik KPK untuk melakukan penyelidikan.
Ruki juga meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi untuk menjelaskan apakah ada fraud atau kecurangan yang menimbulkan kerugian negara.
Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki mengungkapkan, kasus dugaan korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras.
Ruki menceritakan, audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan berawal saat laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan Pemda DKI tahun 2014 terbit.
"Ada temuan nomor 30 saya ingat karena saya teliti betul kesimpulan temuan itu antara lain mengatakan bahwa pembelian Rumah Sakit Sumber Waras telah mengakibatkan Pemda DKI sebesar Rp 191miliar," katanya.
Ruki memelajari laporan hasil pemeriksaan tersebut dari perspektif auditor.
Ia pun melihat adanya indikasi perbuatan melawan hukum dalam kasus tersebut.
"Sudah pasti perbuatan melawan hukum dan kemudian saya perintahkan kepada penyelidik saya untuk melakukan penyelidikan," ucap Ruki.
"Saya meminta kepada BPK untuk melakukan audit investigasi artinya mendalami kembali ke pemeriksaan itu," kata dia.
Audit investigasi tersebut diminta Ruki untuk menjelaskan adanya fraud atau kecurangan yang menimbulkan kerugian negara.
"Maka masuklah laporan itu ke KPK," katanya.
Sayangnya, audit investigatif tersebut diterima KPK saat masa jabatan Ruki selesai. Akhirnya, laporan tersebut diserahkan Ruki kepada Komisioner KPK yang baru.
Apalagi, perkara tersebut masih berstatus penyelidikan.
Ruki mengakui dirinya tidak mendalami hasil audit investigasi tersebut.
"Tetapi, yang saya baca audit investigasi karena dipaparkan oleh Profesor Edi (BPK) kepada pimpinan KPK lengkap. Cuma saya datang terlambat karena waktu itu saya sakit, diyakini telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 191 miliar dengan prosedur yang dilanggar Pemda DKI disebutkan. Kalau tidak salah enam poin indikasi itu yang menjelaskan pertanyaan kami," ucap Ruki.
Ruki pun tidak memahami alasan pimpinan KPK saat ini yang menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum. Namun, ia enggan berdebat mengenai hal tersebut.
"Kalau berdebat, saya orang luar, apa bedanya saya dengan pengamat," ujarnya.
Ia menyebutkan, pihak yang berwenang menentukan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum adalah penyelidik.
"Betul-betul dibedah adalah kenapa penyelidik menyebutkan tidak ditemukan indikasi perbuatan melawan hukum di KPK," kata Ketua Mahkamah Partai PPP itu.
Ia menilai telah terdapat clue perbuatan pelanggaran atas prosedur. Sehingga penyelidik dapat mendalami hal itu.
Ditambah, perencanaan sebuah anggaran sudah terdapat tata cara yang mengatur hal itu.
Ruki mengingatkan pembelian sebuah tanah dengan menggunakan anggaran negara menggunakan cash and carry, saat tanah itu otomatis milik Pemda DKI saat terjadi pembayaran.
"Sekarang perjanjiannya dua tahun kemudian baru bisa jadi milik Pemda DKI."
"Logikanya sudah menyalahi UU Keuangan Negara. Itu yang saya bilang clue tadi. Pembayaran cek kontan. Menimbulkan banyak question mark," ujarnya.
Sebelumnya, KPK tidak menemukan adanya tindak pidana dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dari hasil penyelidikan tersebut, KPK tidak meningkatkan proses hukum ke tahap penyidikan.
"Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Padahal, sebelumnya BPK telah menyebut adanya perbedaan harga lahan yang mengindikasikan kerugian negara Rp 191 miliar.
Hasil audit Badan Pemeriksa Keungan (BPK) menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 191 miliar akibat pembelian sebagian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta.
Namun, BPK tidak menjelaskan secara rinci sumber kerugian tersebut.
Mengutip dokumen yang diperlihatkan RS Sumber Waras, pada 14 November 2013, Yayasan Sumber Waras melakukan ikatan jual beli dengan PT Ciputra Karya Utama.
Pada tahun tersebut, nilai jual obyek pajak (NJOP) sebesar Rp 12,195 juta per meter persegi.
RS Sumber Waras menjual lahan tersebut seharga Rp 15,500 juta per meter persegi atau lebih tinggi dari NJOP pada saat itu.
Jika harga yang ditawarkan RS Sumber Waras dikali luas lahan yang dibeli seluas 36.441 meter persegi, maka pembayaran tersebut sebesar Rp 564 miliar.
Selanjutnya, pada 7 Desember 2014, Pemprov DKI melakukan ikatan kontrak untuk pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras dengan luas lahan 36.441 meter persegi.
Pada tahun tersebut, NJOP sebesar Rp 20,755 juta per meter persegi.
RS Sumber Waras mengatakan, pihaknya menjual lahan tersebut setara dengan NJOP tahun 2014.
Jika diakumulasikan, NJOP sebesar Rp 20,755 juta dikali luas lahan, yakni 36.441 meter, maka didapatkan penjumlahan sebesar Rp 755 miliar.
Uang tersebut ditransfer oleh Pemprov DKI pada 31 Desember 2014.
Dari hasil audit BPK, ada kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.
Mengacu pada hitungan sebelumnya, indikasi kerugian yang dimaksud BPK berasal dari selisih jumlah pembayaran pada 2014 oleh Pemprov DKI, yakni sebesar Rp 755 miliar, dengan harga yang ditawarkan ke Ciputra sebesar Rp 564 miliar.
Selisih harganya sesuai dengan indikasi kerugian negara yang ditemukan BPK, yakni sebesar Rp 191 miliar.
Direktur Utama RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara mengatakan, sebelum melakukan pembelian, Pemprov DKI telah meminta kepada pihaknya untuk menjual lahan tersebut setara dengan NJOP tahun 2014.
Abraham mengatakan, pihaknya menyanggupi permintaan tersebut karena memiliki kesamaan visi terhadap Pemprov DKI.