resensi buku
Rezim Kebudayaan dan Manusia Baru
Buku ini mencatat perkembangan rekayasa kebudayaan oleh rezim era kolonial sampai ke era Reformasi.
Kebijakan kebudayaan era itu adalah membangun struktur ekonomi dan sosial yang akan menahan tekanan perang, pada saat yang sama memungkinkan mobilisasi maksimum sumber daya manusia dan alam untuk tujuan perang (hal 67).
Singkat cerita, Jepang menjadi model modernitas untuk mengikis pengaruh kolonial Belanda.
Sebagai rezim yang intervensionis, Jepang menggunakan kebudayaan untuk mobilisasi massa dan sekaligus mengontrolnya dengan ketat.
Jones melihat, manusia Indonesia yang telah bungkuk ditekuk oleh rezim kolonial Belanda dan pendudukan Jepang itu bangkit tahun 1945. Revolusi memberinya tenaga untuk mendefinisikan diri sendiri.
Namun, Jones mencatat baru setelah tahun 1950 elite-elite mulai punya perhatian lebih serius terhadap kebudayaan.
Strategi kebudayaan berayun antara rezim menjadi fasilitator dan regulator bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan, dengan rezim menjadi pemimpin yang memobilisasi rakyat dalam menentukan corak baru kebudayaan.
Intinya adalah rezim negara baru itu mendorong manusia Indonesia bergairah melompat ke luar dari kungkungan suku menuju ikatan bangsa yang baru tumbuh.
Rumusan ”kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah” sebagaimana didefinisikan oleh Ki Hajar Dewantara adalah manifestasinya.
Meskipun demikian, perdebatan apakah kebudayaan Indonesia menoleh ke Barat atau mengapai ke Timur tetap berjalan.
Manusia pembangunan
Setelah peristiwa 1965, lembaga-lembaga kebudayaan yang tadinya bergairah rontok.
Sebagian tokoh dan pengikutnya juga hilang, diasingkan, dikerangkeng, bahkan dilenyapkan.
Rezim Orde Baru dan kaum militer menguasai singgasana negara, didukung oleh kelompok-kelompok sipil yang anti-Soekarno dan komunis.
Jones mencatatnya sebagai era pembangunan dengan watak komando.
Manusia Indonesia dalam era pembangunan ini diasumsikan sebagai manusia yang bermental santai, dan oleh karena itu harus diubah menjadi manusia yang hidup dengan budaya kerja, bahkan budaya kerja keras (hal 141).
Buku Metode Penelitian Survei Menuntun Peneliti di Jalan yang Benar |
![]() |
---|
Pandemi Virus Corona Jadi Buku Seharga Rp 250 K, Ditulis 110 Orang dari Guru Besar sampai Wartawan |
![]() |
---|
Buku Statistik Sosial Membuat yang Sulit Menjadi Mudah Dicerna |
![]() |
---|
Perburuan Buah Emas Banda |
![]() |
---|
Buah Pala, Kolonialisme, dan Korporasi Transnasional |
![]() |
---|