Menarik di Warta Kota

Cicipi Makanan Hayam Wuruk, Mampir ke Lara Djonggrang

Menikmati hidangan khas Indonesia yang utuh, lengkap dengan sejarah budaya, hanya bisa didapatkan di Restoran Lara Djonggrang

Penulis: | Editor: Dian Anditya Mutiara
Wartakotalive/Ichwan Chasani
Restoran Lara Djonggrang di Cik Di Tiro, Menteng 

WARTA KOTA, MENTENG - Menikmati hidangan khas Indonesia yang utuh, lengkap dengan sejarah budaya, adalah pengalaman mengesankan.

Di Restoran Lara Djonggrang, salah satu restoran etnik di belantara Jakarta, pengunjung akan mendapatkan pengalaman itu.

Restoran berada di Jalan Teuku Cik Di Tiro No 4, Menteng, Jakarta Pusat. Terletak di tepi jalan utama, resto ini mudah dijangkau.

Patung-patung dari bahan batu candi menjadi ciri khas bangunan luar resto. Lampu teplok, lampu berbahan bakar minyak tanah dalam tradisi Jawa masa lalu, menjadi penerang di selasar menuju pintu utama.

Setiap ruang memiliki cerita, dari jaman Kerajaan Majapahit hingga riwayat Jalur Sutera. Salah satunya adalah Ruang Lara Djonggrang yang berkapasitas 50-an pengunjung.

Nasi Kapau

Di ruangan ini, patung Lara Djonggrang setinggi sekitar dua meter jadi ikon. Dipajang pula beragam relief, wayang dan topeng.

“Restoran Lara Djonggrang terinspirasi kisah yang sudah melegenda sejak era Kerajaan Majapahit,” kata Rosiany T Chandra, Public Relation Manager Tugu Hotel, pengelola Resto Lara Djonggrang.

Tidak sebatas dekorasi saja, lanjut Rosiany, hidangan yang disajikan merupakan hasil riset sejarah, yaitu sajian yang diterima Raja Hayam Wuruk semasa ekspedisi dari Jawa ke Bali.

Saat ekspedisi itu, setiap berhenti di suatu kota, Hayam Wuruk menerima suguhan hidangan spesial dari warga setempat.

Beberapa daerah persinggahan antara lain Pajang, Lasem, Lodaya dan Lumajang. “Kami meneliti dari literatur sejarah.

Menu disini sangat komplit, dari seluruh Nusantara ada. Bahkan, pengalaman bersantap seperti era Raja Hayam Wuruk, kami hadirkan melalui Tugudom Dining,” kata Rosiany.

Layanan Tugudom Dining, adalah penyajian makanan yang dikemas dalam sebuah parade yang bersifat teatrikal. Hidangan diarak para pelayan yang dikawal para prajurit dan diiringi alunan musik tradisional Jawa. Ada seorang penari dan sepuluh pelayan pembawa baki yang menjadi penyaji hidangan.

Tugudom Dining bisa dipesan minimum 10 orang. Lewat parade itu, pengunjung dibawa seakan kembali ke era Majapahit dimana tamu seakan raja yang mendapatkan hidangan seperti Hayam Wuruk.

Untuk mendapatkan layanan itu, pengunjung tidak harus menikmatinya di Ruang Lara Djonggrang, tapi bisa memilih private room atau public room.

Salah satu ruang umum itu, China Blue misalnya, dindingnya bercat warna biru, warna agung dalam tradisi China. Di sisi kiri pintu masuk ruang ini, ada dua lukisan Dewa Yama, dewa penjaga neraka dalam kepercayaan Hindu.

Terlihat pula ukiran kayu setinggi tiga meter bergambar Dewa Penjaga Surga, serta lukisan putri Oei Tiong Ham yang bernama Wiwi Wulan. Oei Tiong Ham adalah Raja Gula Asia asal Semarang pada era kolonial Belanda.

Sisi kanan China Blue, terdapat private room yang disebut Blitar Room (Soekarno Room). Di ruang berkapasitas 12 tempat duduk itu terdapat lukisan Ir Soekarno dan Sultan Agung, salah satu idola Soekarno. Di salah satu sudut ruangan, juga terdapat gantungan jas, asli milik presiden pertama Republik Indonesia tersebut.

Private room lainnya adalah Malang Room dan Bali Room. Berbatasan dengan China Blue, terdapat ruang umum lainnya, yaitu Siam Room berkapasitas 30 kursi.

Satu meja bundar ditata dengan 8 kursi, ada pula tiga meja kotak dengan dua kursi, dan dua meja kotak dengan lima kursi.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved