Lipsus Edisi Cetak

Daripada Bayar PBB Selangit, Mending Pindah

Kenaikan NJOP tanah di DKI Jakarta hingga 240 persen di berbagai kawasan membuat harga tanah melejit.

Penulis: Feryanto Hadi | Editor: Dian Anditya Mutiara
setkab.go.id
Ilustrasi SPT PBB. 

WARTA KOTA, PALMERAH - Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di DKI Jakarta hingga 240 persen di berbagai kawasan membuat harga tanah melejit. Secara prinsip ekonomi, pemilik tanah diuntungkan karena mereka dapat menjual tanah dengan harga tinggi.

Tetapi, bagi warga berpenghasilan sedang atau rendah dan mereka tidak hendak menjual aset tanahnya, kenaikan NJOP justru membuat mereka terhimpit karena harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sangat besar.

Para pengamat menyebut, naiknya NJOP dan PBB di DKI tidak hanya akan berpengaruh dari segi ekonomi, melainkan juga ada dampak sosial dan budaya. Jakarta, sebagai ibu kota negara, pusat pemerintahan, dan pusat ekonomi membuat banyak permukiman warga tergusur, kemudian menjelma menjadi kawasan bisnis, pusat belanja atau perkantoran.

Tergiur harga

Seperti yang terjadi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Menurut keterangan Haji Sidiq (82), warga RT 002/006, Kelurahan Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, dulunya kawasan ini merupakan ladang buah nanas yang luas. Pembangunan di kawasan tersebut terjadi mulai 1955.

"Tapi saat itu bangunan baru sedikit. Hanya ada beberapa toko dan sedikit perkantoran," jelasnya kepada Warta Kota baru-baru ini.

Awal 1970-an, kawasan Ku­­ning­an mulai dilirik oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Di kawasan itu, gedung yang pertama ber­diri adalah Ge­langgang Soe­mantri Brojo­negoro pada 1974. Menyusul di tahun-tahun berikutnya gedung-gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan yang semakin ramai kawasan itu.

"Perkembangan paling pesat di tahun 1990-an. Para pemodal kuat terus berburu lahan milik warga untuk dibangun gedung perkantoran. Karena diiming-imingi harga mahal, banyak warga yang tergiur dan menjual tanahnya," jelas Sidiq.

Sidiq tidak tahu persis ke mana perginya para tetangga dan warga sekitar Kuningan yang telah menjual lahannya. "Ada yang bilang pindah ke Tangerang Selatan atau perbatasan Jakarta Selatan dan Depok. Saya nggak tahu pasti pindahnya pada ke mana," katanya.

Sidiq kini menjadi salah satu pribumi yang masih bertahan di sela-sela bangunan tinggi di sekitar Jalan Prof Dr Satrio, Kuningan. Dia belum tergiur untuk menjual tanah dan rumahnya seluas 700 M2, meski harga jual tanah di sana sudah mencapai Rp 50 juta per M2.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati menyebut, ketidakmampuan warga kelas menengah ke bawah membayar PBB dengan nilai tinggi, secara alamiah membuat mereka akan terpinggirkan.

Mereka, akhirnya akan pindah dari kampungnya di Jakarta untuk mencari tempat tinggal baru di pinggiran Jakarta atau di Tangerang, Bekasi, Depok atau Tangerang Selatan.

"Mereka tak punya opsi lain kecuali menjual tanah dan rumahnya. Daripada harus membayar pajak mahal, mereka berpikir lebih baik mendapatkan uang penjualan tanah yang besar dan pindah ke kawasan pinggiran dengan harga tanah lebih murah," jelasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved