Menjadikan tersangka, KPK kerap Tanpa Kecukupan Alat Bukti
KPK kerap menjadikan seseorang menjadi tersangka korupsi tanpa disertai alat bukti yang cukup
Penulis: Dody Hasanuddin | Editor: Dian Anditya Mutiara
WARTA KOTA, JAKARTA - Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Hendy F Kurniawan, SIK, SH, MH menyatakan bahwa KPK kerap menjadikan seseorang menjadi tersangka korupsi tanpa disertai alat bukti yang cukup. Kemudian mengacuhkan mekanisme gelar perkara, menutup diri saat hukum berproses, dan mengutamakan asumsi.
"Saya ini netral. Tapi apa yang saya sampaikan ini adalah untuk menjelaskan bahwa penegakan hukum dan proses menjalankan UU itu harus lebih tinggi diatas apapun. Korupsi memang harus diberantas, namun menjadikan seorang tersangka koruptor tanpa adanya kelengkapan alat bukti dan saksi serta mengabaikan mekanisme gelar perkara tentu sesuatu yang tidak adil. Ini menyangkut hak asasi manusia," kata Hendy yang bertugas sebagi penyidik KPK dari 2008-Januari 2015 di Jakarta, Senin (16/2/2015).
Hendy manambahkan bahwa akibat adanya kesalahan mekanisme hukum itu membuat KPK dengan Polri bersitegang. Kekisruhan terkait ditundanya status Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri oleh Presiden Jokowi merupakan puncak dari sejumlah kesalahan yang telah dilakukan KPK di era kepemimpinan Abraham.
Menurut Hendy, pelanggaran mekanisme hukum oleh KPK telah terjadi juga saat menetapkan Miranda S Goeltom (mantan Deputi Bank Indonesia) sebagai tersangka dalam kasus pemberian cek kepada sejumlah anggota DPR pun terhadap Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) terkait kasus Hambalang.
"Kedua tersangka itu yang telah ditahan itu, sebenarnya banyak terjadi kejanggalan dalam mekanismenya. Contohnya pada ibu Miranda, kami telah melakukan gelar perkara oleh jaksa, oleh penyidik dari polri dan kejaksaan. Kami ulas secara teori dan dituangkan pada notulen yang intinya, terhadap ibu Miranda belum ditemukan dua alat bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian Miranda dan Anas diumumkan sebagai tersangka melalui media, padahal sejumlah pasal yang dikenakan itu hanyalah merupakan konsep atau asumsi dan diketik oleh penyidik junior. Jadi itu berupa draft, tidak melalui mekanisme gelar perkara," tandasnya.
Hendy menyatakan bahwa KPK harus mengutamakan prinsip kehati-hatian. Sebab UU KPK tidak memiliki kewenangan guna menghentikan perkara yang telah berlangsung.
"UU KPK pada pasal 40 disebutkan tidak ada lagi kewenangan menghentikan perkara jika status naik menjadi tersangka. Saya sudah mengingatkan berkali-kali, namun sikap arogan yang muncul diperlihatkan seorang Abraham Samad. Karenanya, saya bersama sejumlah penyidik lain akhirnya sepakat untuk mengundurkan diri pada 27 Januari lalu," paparnya.