Selendang Merah Ketiga, Inilah Jawa yang Multikultural

Mengambil judul "Opera Jawa: Selendang Merah" serial ketiga opera ini akan dipentaskan di Solo pada 7 April dan Jakarta pada 13-14 April.

|

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Willy Pramudya

Kemang, Wartakotalive.com

Sutradara film dan panggung Garin Nugroho akan segera menggenapi trilogi Opera Jawa pertunjukan panggung hasil besutannya. Mengambil judul "Opera Jawa: Selendang Merah" serial ketiga opera ini akan dipentaskan di Solo pada 7 April dan Jakarta pada 13-14 April.

Namun berbeda dengan seri pertama Opera Jawa bertajuk Iron Bed yang menggunakan ranjang sebagai medium utama dan seri keduanya Tusuk Konde yang menggunakan medium utama kukusan dan tusuk konde, Selendang Merah menggunakan selendang sebagai medium utamanya.

Selain menggunakan selendang sebagai medium utama, lakon Selendang Merah juga tampil sebagai paduan unsur-unsur khas kebudayaan Jawa yang hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Selain didominasi oleh tarian khas Jawa Tengah dan Jawa Timur, serial ketiga opera ini juga sarat dengan komposisi musik karawitan dan tembang-tembang Jawa dari dua kebudayaan Jawa itu.

Namun Garin juga menyebut pementasan ini sebagai "Jawa yang multikultur". Pasalnya lakon Selendang Merah ini juga mendapatkan sentuhan unsur-unsur budaya etnik lain, seperti Jawa gaya Banyumasan, Nias, Bali, Sunda, Papua dan musik modern.

"Juga ada topeng Papuanya. Bayangkan topeng Papua digabung dengan nuansa Jawa. Ini sebenarnya Jawa yang multikultur," tutur Garin di sela-sela acara jumpa pers yang berlangsung di Balai Sarwono, Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (2/4/2013).

Melibatkan sejumlah para seniman seniwati Jawa antara lain Sruti Respati, Endah Laras, Heru, Anggono Kusumo dan penata musik Rahayu Supanggah serta koreografer Danang Pamungkas, Selandang Merah berkisah tentang penangkapan monyet oleh kelompok ledhek monyet yang berlanjut dengan kisah yang menggambarkan dunia yang jungkir balik.

Dikisahkan bahwa setelah monyet bernama Hanoman (diperankan oleh Heru) itu tertangkap, binatang itu mendapatkan  simpati dari Sri Ledhek (Sruti Respati). Sri Ledhek adalah penari tayub yang juga istri Tuan Ledhek (Anggono Kusumo) bos kelompok ledhek itu.

Sikap Sri yang bersimpati pada Haniman, rupanya memicu munculnya konflik anttara Sri dan Tuan Ledhek. Konflik antara keduanya bukan mereda melainkan semakin meruncing. Tuan Ledhek pun bersikap semakin kejam sehingga membuat Sri melihat Hanoman lebih manusiawi daripada suaminya.

Sri pun "terjebak" jatuh cinta pada Hanoman sehingga terjadilah cinta segitiga dan dunia jungkir balik pun tak terhindarkan kehadirannya. Melalaui lakon yang subtil namun mengalir ini, Garin Nugroho juga berusaha menggabungkan pola tradisional dengan sentuhan modern.

Anggono Kusumo yang juga bertindak sebagai koreografer bersama Danang Pamungkas memasukkan sentuhan modern pada tarian hasil garapan mereka.

"Pola tradisinya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dua wilayah yang sama-sama berbudaya Jawa. Tap kemudian dikolaborasiakan dengan pola tari modern," ujar Anggono tentang tari dalam lakon yang berdurasi 100 menit itu.

Menurut Anggono, para penari yang terlibat dalam pertunjukan ini berangkat dari disiplin tari yang berbeda-beda. Sebab mereka ada yang berangkat dari gaya Jawa Timuran, Jawa Tengahan maupun penari modern. "Tapi mereka semua profesional dan cepat bekerja sama," katanya.

Sentuhan modern juga muncul pada komposisi musik dan tembang-tembang yang hadir pada lakon ini. Bahkan Selendang Merah bisa dikatakan sebagai bagian dari trilogi yang paling sarat tembang.

Pemusik Rahayu Supanggah yang berperan sebagai penata musik lakon ini mengatakan, jumlah tembang yang akan dilantunkan mencapai 40 lagu.

"Ada 35 sampai 40 tembang yang akan dilantunkan. Ada yang berbau tradisi, ada folk, ada yang modern, dan lain-lain. Saya tidak mengkotak-kotakkan musik. Semuanya berlangsung cair dan mengalir," kata guru besar di bidang Etnomusikologi dan Karawitan, yang akrab dengan sapaan Panggah dan sudah terlibat sebagai pentas musik sejak serial sebelumnya.

Panggah yang juga menjabat Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini menambahkan, warna musik etnik seperti Banyumas, Sunda, Nias, dan Bali juga akan tampil dalam pertunjukan yang akan berlangsung di Teater Besar ISI Surakrata pada 7 April kemudian di Jakarta (Teater Jakarta dan Taman Ismail Marzuki) pada 13-14 April 2013 tersebut.

Lewat dua serial Opera Jawa Garin mencoba untuk merepresentasikan persoalan sosial dan budaya yang dihadapi manusia Indonesia dengan meramunya dalam sebuah konsep seni pertunjukan. Pementasan Selendang Merah sebagai seri ketiga ini Garin tetap setiap kepada tema besar tersebut.

"Kali ini tema yang diangkat adalah sebuah dunia yang jungkir balik. (Tokoh) hewan yang diusahakan jadi manusia dan manusia yang berperilaku seperti hewan. Jungkir balik, semuanya tidak pada tempat dan waktunya," ujar Garin yang telah megelilingkan seri pertama dan kedua Opera Jawa ini ke berbagai festival internasional.

Garin menjelaskan, Selendang Merah ingin menyodorkan dunia yang jungkir balik. Yakni ketika perilaku manusia sudah tak terkendali. Mereka yang berkuasa tak lagi berpihak kepada yang lemah, sehingga kehidupan pun layaknya sirkus yang serba jungkir balik penuh tragedi dan suasana yang tak mudah diduga.

Selendang Merah akan dipentaskan dalam bahasa Jawa sehari-hari. Penonton yang kurang memahami bahasa Jawa akan dibantu dengan teks terjemahan bahasa Indonesia melalui buku acara yang disediakan penyelenggara.

Garin mengakui, dari segi waktu lakon ini hanya memiliki waktu penggarapan  yang singkat, yakni 2,5 bulan. Padahal untuk tiap seri pada dua serial sebelumnya dibutuhkan persiapan tujuh bulan.

Namun Garin memberikan jaminan bahwa pementasan seri ketiga ini tetap bagus karena para artis yang terlibat dalam tim ini adalah para seniman dan seniwati profesional dan sudah sering terlibta dalam kerjasama.

Garin juga berpesan agar penonton bersikap santai saja meskipun pementasan menggunakan bahasa Jawa karena penyelenggara menyediakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

"Nikmati saja pertunjukan ini seperti kalau kita nonton karnaval. Santai sajasambil menikmati tembang-tembangnya," kata Garin Nugroho.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved