Jika Butuh Baju, Pelihara Ulat Sutra

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, jangankan bermimpi bisa membeli baju, kain saja sangat sulit didapat. Mengapa bisa begitu?

|

Wartakotalive.com -- Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, jangankan bermimpi bisa membeli baju, kain saja sangat sulit didapat. Mengapa bisa begitu?

Pada masa itu, pemerintahan Jepang melarang impor barang-barang, termasuk tekstil. Mereka menerapkan sistem autarki yaitu tiap-tiap daerah diharapkan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi, penduduk harus berusaha sendiri untuk mencukupi segala yang dibutuhkan, termasuk pengadaan bahan pakaian. Maka anjuran (baca: perintah) yang diserukan pada penduduk di daerah Jawa adalah memelihara ulat sutra dan pohon Jarak! Karena bahan-bahan tersebut bisa menghasilkan bahan-bahan sutra yang bagus dan kuat sekali.

Anjuran itu, selain diserukan secara langsung juga melalui pengumuman atau berita-berita dalam suratkabar yang beredar saat itu, yaitu Asia Raya (untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya) dan Tjahaja (untuk wilayah Jawa Barat). Selain itu, sering juga dimuat berita menggembirakan mengenai kesuksesan pelaksanaan anjuran tersebut, yang tujuannya agar menjadi contoh bagi penduduk lain untuk melakukannya juga. Seperti berita yang dimuat pada bulan Januari 1944 ini;

Mematuhi anjuran dari pemerintah Jepang itu, maka di beberapa Syuu (Karesidenan) telah dibuat tempat-tempat pemeliharaan ulat sutra yang diurus dengan baik. Beberapa daerah seperti di Taragong, Papandayan dan Cikajang di daerah Garut Ken (Kotamadya) bahkan telah mendatangkan hasil yang bagus dan baik, yang dalam waktu singkat telah mulai menghasilkan benang sutra yang kuat sekali dan besar artinya bagi masyarakat umum di sini.

Penanaman pohon Jarak (Kaliki) juga sudah dilakukan. Bahkan pada hari Jum’at tgl 14 Januari 1944 didaerah Bandung Gun (kawedanan) akan diadakan penanaman jarak beramai-ramai oleh penduduk di bawah pimpinan tuan Guntyo sendiri. Kaliki ini akan ditanamkan ditempat-tempat yang masih kosong, dipekarangan-pekarangan rumah, juga di pesawahan. Di daerah Cimahi Gun, pada baru-baru ini telah diadakan penanaman kaliki disebidang tanah yang luasnya 10 hektar are (Tjahaja, 12 Januari 1944).

Keadaan nyaris sama juga dialami penduduk di Pulau Bali. Pada masa pendudukan Jepang, masyarakat Bali mengalami kekurangan bahan pakaian karena bahan tekstil hampir tidak kelihatan lagi di toko-toko atau pasar-pasar. Padahal, rakyat sangat memerlukannya. Semakin hari semakin banyak penduduk desa yang tidak berani ke luar rumah karena tidak memiliki pakaian lagi untuk menutupi tubuhnya. Karena begitu terpaksa, ada yang mempergunakan kulit kayu dan karung goni untuk pakaian.

Pemerintah Jepang berusaha mengatasi kesulitan ini dengan memaksa penduduk menanam kapas di sawah atau ladang mereka. Hasil panen tanaman kapas tersebut lalu diserahkan pada pabrik pemintalan yang akan diolah menjadi benang oleh ahli-ahli Jepang. Benang-benang itu kemudian diserahkan lagi kepada penduduk untuk ditenun dan dijadikan bahan pakaian yang kemudian dibagikan lagi kepada rakyat (Dr. Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, 1993).

Tentu saja suplai tekstil dengan cara itu sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk sehingga di mana-mana banyak rakyat mengeluh karena tidak mempunyai pakaian untuk menutup tubuh mereka. Untungnya (lagi), Jepang berkuasa di Indonesia hanya 3,5 tahun hingga kesengsaraan rakyat tidak berkepanjangan.

(Lily Utami, pemerhati sejarah)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved