Premi Tidak Seimbang Penyebab Anggaran BPJS Kesehatan Defisit
Persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan tak akan pernah terselesaikan. Sebab, premi peserta sistem JKN BPJS Kesehatan tidak seimbang
PALMERAH, WARTAKOTALIVE.COM - Persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan tak akan pernah terselesaikan. Sebab, premi peserta sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan tidak seimbang dengan biaya manfaat.
Hal itu disampaikan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori di Bogor, Jawa Barat, Selasa (2/4/2019).
Ansyori menyatakan untuk membuat defisit anggaran itu tidak terjadi, maka preminya harus seimbang dengan biaya manfaat.
• Ini Ramalan Zodiak Rabu 3 April 2019 Capricorn Kecewa, Hari Leo Lancar, Cancer Totalitas
Diusulkan bahwa berdasarkan angka ideal iuran BPJS Kesehatan adalah Rp 60.514 per orang.
Jika dihitung per segmen, maka untuk peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III besaran preminya adalah Rp 42.714 per orang per bulan, kelas II Rp 80.409, dan kelas I Rp 130.805.
Sedangkan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang preminya dibayarkan oleh pemerintah lebih rendah, yaitu sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.
Sebelumnya usulan DJSN pada awal JKN-KIS dilaksanakan pada 1 Januari 2014 agar premi untuk peserta PBI minimal Rp 36.000, PBPU kelas III Rp 53.000, kelas II Rp 63.000, dan kelas 1 Rp 80.000 per orang per bulan. Namun, usulan ini tidak pernah diikuti.
Pemerintah menetapkan besaran iuran peserta BPJS untuk kelas 1 Rp 80.000 per orang, kelas II Rp 59.000, dan kelas III Rp 25.500.
“Kami hitung dari unit cost, harga pelayanan dan rate rasio kunjungan. Kemudian ini diproyeksikan dan dihitung dengan banyak formula, jadilah angka-angka tersebut,” kata Ansyori.
Ansyori menambahkan bahwa angka-angka tersebut adalah kebutuhan premi yang ideal dengan biaya pelayanan per orang per bulan.
Hitungan ini sudah menyesuaikan dengan kondisi kekinian, termasuk sudah menghitung terjadinya inflasi bidang kesehatan rata-rata 20% per tahunnya.
“Angka-angka ini direkomendasikan oleh DJSN jika pemerintah ingin menaikkan premi peserta dari angka yang sekarang. Kami siap ajukan premi yang baru ini jika memang ada rencana presiden untuk menaikkan premi peserta,” ujar Ansyori.
Ansyori optimistis besaran premi peserta akan dinaikkan oleh pemerintah nantinya.
Meskipun komitmen pemerintah untuk itu masih jauh dari harapan.
Faktanya, sampai saat ini tidak ada kenaikan premi, padahal regulasi mewajibkan dilakukannya evaluasi setiap dua tahun.
Kemudian pemerintah belum punya komitmen cukup.
Besaran premi sampai saat ini ditetapkan lebih rendah dari hitungan aktuaria DJSN.
Menurut Ansyori, persoalan ini lebih tepatnya disebut unfunded, bukan defisit. JKN-KIS dikatakan defisit jika besaran premi sudah ditetapkan sesuai hitungan aktuaria, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata kurang.
Sedangkan unfunded adalah premi yang ditetapkan tidak sesuai dengan hitungan aktuaria, sehingga terjadi kekurangan pembiayaan.
Di sisi lain, defisit yang terjadi, lanjut Ansori, juga dikarenakan banyaknya beban yang tidak semestinya ditanggung JKN-KIS.
Misalnya, dalam hal kecelakaan kerja dan korban bencana alam.
Contohnya, seorang pekerja industri mebel menderita paru dan mata dikarenakan paparan debu selama bertahun-tahun. Ketika sakit dan berobat ke fasilitas kesehatan, pasien ini menjadi beban pembiayaan JKN-KIS.
“Seharusnya pembiayaan untuk penyakit seperti ini masuk dalam jaminan kecelakaan kerja. Beban-beban pembiayaan yang tidak semestinya inilah yang menyebabkan pengeluaran BPJS Kesehatan membengkak, dan turut berkontribusi pada defisit. Yang harus diingat, penetapan besaran iuran peserta JKN-KIS tidak pernah menghitung kecelakaan kerja dan bencana," tandas Ansyori. (DOD)