Metode Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Dinilai Tidak Menguntungkan Bagi Rumah Sakit-Klinik
Metode CAPD tidak membawa keuntungan bagi fasilitas kesehatan seperti rumah sakit atau klinik.

WARTA KOTA, PALMERAH---Doktor dr Aida Lidya SpPD-KGEH, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), mengatakan, penyakit ginjal kronis (PGK) tidak hanya menimbulkan beban bagi pasien dan keluarganya, tapi juga jadi beban secara ekonomi dan bagi pemerintah.
Pada 2015, kata Aida, PGK naik ke peringkat dua sebagai penyakit dengan beban ekonomi terbesar (sebelumnya peringkat tiga).
Lebih tinggi dari pada kanker, walaupun masih jauh lebih rendah dibandingkan penyakit jantung.
Baca: Jumlah Pasien Perempuan Melakukan Cuci Darah Masih Lebih Sedikit
Beban ekonomi itu sebenarnya bisa saja berkurang jika pasien PGK lebih banyak menjalankan metode continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau cuci darah mandiri dibandingkan hemodialisis (HD) seperti saat ini.
Namun, hal itu masih jauh dari harapan.
Baca: Di Indonesia Baru 2 Persen Pasien Gagal Ginjal Menggunakan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis
Salah satu penyebabnya, kata Aida, karena metode CAPD tidak membawa keuntungan bagi fasilitas kesehatan seperti rumah sakit atau klinik.
"CAPD masih dianaktirikan oleh rumah sakit atau klinik karena tidak memberi keuntungan. Bahkan justru menimbulkan kerugian. Dokter dan perawat pun mungkin tidak mendapat bayaran dari pelayanan CAPD," kata Aida beberapa waktu lalu.
Sebenarnya, kata Aida, sepanjang tahun 2012-2015 telah ada peningkatan pasien yang menjalani CAPD, tapi tidak signifikan.
-
Ini Cara Menjaga Ginjal Tetap Sehat Tanpa Minum Obat
-
Prabowo Sebut Selang Dipakai 40 Orang, Ini Proses Cuci Darah Bagi Pasien Ginjal di RSCM
-
Prabowo Subianto Bicara Soal Selang Cuci Darah Dipakai Ramai-ramai, Begini Tanggapan RSCM
-
Jaminan Kesehatan Nasional, Benahi Kebijakan Pembiayaan Cuci Darah di Indonesia
-
Ibunya Meninggal, Roger Danuarta Kehilangan Sosok Teman Hidup